Penulis : B. R. Hergenhahn, Matthew H. Olson
BAB 1
APA ITU BELAJAR ?
B
|
elajar (learning) adalah salah satu topik paling
penting di dalam psikologi, namun konsepnya sulit untuk didefinisikan. American
Heritage Dictionary mendifinisikan sebagai berikut:” To gain
knowlegde,comprehension,or mastery through experience or study” [untuk
mendapatkan pengetahuan,pemahaman,atau penguasaan melalui pengalaman atau
studi]. Namun kebanyakan psikologi menganggap psikologi menganggap definisi ini
tidak bisa diterima sebab ada istilah samar didalamnya, seperti
pengetahuan,pemahaman,dan penguasaan. Sepanjang beberapa tahun belakangan ini
ada kecenderungan untuk menerima definisi belajar yang merujuk pada perubahan
dalam perilaku yang dapat diamati. Salah satu definisi yang paling populer
adalah definisi yang dikemukakan oleh Kimble (1961,h.6),yang mendefinisikan
belajar sebagai perubahan yang relatif permanen di dalam behavioral
pontentiality (potensi behavioral) yang terjadi sebagai akibat dari reinforced
practice (praktik yang diperkuat). Meskipun cukup populer, definisi ini tidak
diterima secara universal. Sebelum membahas ketidaksepakatan terhadap definisi
Kimble ini, mari kita telaah sedikit lebih dalam terlebih dahulu.
Pertama, belajar diukur
berdasarkan perubahan dalam perilaku, dengan kata lai, hasil dari belajar harus
selalu diterjemahkan ke dalam perilaku atau tindakan yang dapat diamati.
Setelah menjalani peroses belajar, pembelajar (learner) akan mampu melakukan
sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan sebelum mereka belajar. Kedua,perubahan
behavioral ini relatif permanen; artinya, hanya sementara dan tidak menetap.
Ketiga, perubahan perilaku itu tidak selalu terjadi secara langsung setelah
proses belajar selesai. Kendati ada potensi untuk bertindak secara berbeda,
potensi untuk bertindak ini mungkin tidak akan diterjemahkan ke dalam bentuk
perilaku secara langsung. Keempat, perubahan perilaku (atau potensi behavioral)
berasal dari pengalaman atau praktik (latihan). Kelima, pengalaman, atau
praktik, harus diperkuat; artinya, hanya respons-respons yang menyebabkan
penguatanlah yang akan dipelajari. Meskipun istilah imbalan (reward) dan
penguatan (reinforcement) kerap dianggap sama, namun setidaknya ada dua alasan
mengapa anggapan itu kurang tepat. Dalam karya Pavlov, misalnya, suatu penguat
(reinforcer) didefinisikan sebagai unconditioned stimulus, yakni setiap
stimulus yang menimbulkan reaksi alamiah dan otomatis dari suatu organisme. Dalam
riset Pavlovian, stimuli seperti larutan larutan asam atau setrum listrik tak
jarang dipakai sebagai unconditioned stimuli. Stimuli ini bisa disebut sebagai
penguat, namun sulit untuk dianggap sebagai imbalan, jika imbalan itu dianggap
sebagai sesuatu yang diinginkan. Penganut Skinnerian juga tidak mau menyamakan
penguat dengan imbalan. Menurut mereka, penguat akan memperkuat setiap perilaku
yang secara langsung mendahului kejadian penguat. Sebaliknya, imbalan biasanya
dianggap sebagai sesuatu yang diberikan atau diterima hanya untuk tindakan yang
dianggap diinginkan oleh masyarakat.
APAKAH BELAJAR PASTI MENGHASILKAN PERUBAHAN PERILAKU?
Psikologi telah menjadi ilmu
behavioral dengan segala kelebihan dan kekuranganny. Sebuah ilmu pengetahuan
atau sains membutuhkan pokok persoalan yang dapat diamati, dapat diukur, dan
dalam ilmu psikologi, pokok persoalan itu adalah perilaku. Jadi, apapun yang
kita pelajari dalam psikologi harus diekspresikan melalui perilaku, tetapi ini
bukan berati bahwa belajar adalah sebuah perilaku. Sehingga kita bisa mengambil
kesimpulan mengenai proses yang diyakini merupakan sebab dari perubahan
perilaku yang kita lihat. Dalam kasus ini, proses itu dinamakan belajar.
Kebanyakan teori belajar yang dibahas di buku ini sepakat bahwa proses belajar
tidak bisa dipelajari secara langsung; hakikat dari belajar hanya dapat
disimpulkan dari perubahan perilaku. B. F. Skinner adalah satu-satunya
teoritisi yang berbeda pendapat dalam hal ini. Menurutnya, perubahan perilaku
merupakan proses belajar itu sendiri dan tak perlu lagi ada proses lain yang
harus disimpulkan. Tepritisi lain mengatakan bahwa perubahan perilaku berasal
dari proses belajar.
Jadi, kecuali penganut Skinnerian, kebanyakan teoritisi
belajar memandang belajar sebagai sebuah proses yang memperantarai perilaku.
Menurut mereka, belajar adalah sesuatu yang terjadi sebagai hasil atau akibat
dari pengalaman dan mendahului perubahan perilaku. Dalam kerangka definisi ini,
belajar ditempatkan sebagai variabel pngintervensi (intervening) atau variabel
perantara. Variabel perantar ini adalah
proses teoritis yang diasumsikan terjadi di antara timuli dan respons yang
diamati. Variabel independen (variabel bebas) menyebabkan perubahan dalam
variabel perantara (proses belajar), yang pada gilirannya akan menimbulkan
perubahan dalam variabel dependen (variabel terikat) (perilaku).
Disini
kita mendapati setidaknya dua macam problem. Pertama, seberapa lamakah
perubahan perilaku harus bertahan sebelum kita mengatakan bahwa proses belajar
telah kelihatan hasilnya? Aspek ini pada awalnya dimasukan dalam definisi di
atas untuk membedakan antara belajar dengan kejadian lain yang mungkin mengubah
perilaku, seperti keletihan,sakit, pendewasaan, dan narkoba. Jelas, kejadian
ini efeknya mungkin akan datang dan pergi dengan cepat, tetapi hasil dari
belajar akan terus menetap sampai ia dilupakan atau muncul hasil belajar baru
yang menggantikan hasil belajar yang lama. Jadi, keadaan temporer dan proses
belajar akan memodifikasi perilaku, tetapi lewat beljar itulah modifikasi
tersebut akan relatif lebih permanen. Namun, durasi modifikasi yang muncul dari
belajar atau keadaan tubuh yang temporeritu
tidak bisa ditentukan secara pasti.
Ada problem lain yang masih
terkait yaitu short-term memory (memori jangka pendek). Sejumlah psikolog
menemukan bahwa jika informasi yang asing, seperti kata-kata yang tak bisa
dipahami, diberikan kepada seseorang dalam suatu percobaan dimana informasi itu
tidak diulang-ulang, orang itu akan mengingat kata-kata itu secara hampir
sempurna selama sekitar tiga detik saja. Tetapi dalam waktu 15 detik
selanjutnya, ingatan mereka turun hingga hampir ketitik nol atau lupasma sekali
(Murdock, 1961; Peterson & peterson, 1959).
Penerimaan kualifikasi “relatif
permanen” dalam definisi belajar juga akan menentukan apakah proses
sensitization (sensitisasi) dan habituation (habituasi) diterima sebgai contoh
belajar. Sensitisasi adalah proses dimana suatu organisme menjadi lebih
reponsif terhadap aspek tertentu dari lingkungannya. Misal, suatu organisme
yang biasanya mungkin tidak merespons cahaya atau suara tertentu mungkin akan
menjadi meresponsnya setelah menerima suatu kejutan (shock). Habituasi adalah
proses dimana suatu organisme menjadi kurang responsif pada lingkungannya.
Misalnya, ada tendensi bagi suatu organisme untuk memerhatikan stimuli atau
rangsangan baru yang terjadi dari lingkungannya. Tendensi ini disebut sebgai
refleks yang terarah. Contohnya, adalah ketika anjing menengok ke sumber suara
yang tiba-tiba terjadi. Tetapi setelah memerhatikan suara itu, anjing itu pada
akhirnya akan mengabaikan suara tersebut (dengan asumsi bahwa suara itu tidaak
memberi ancaman) dan tidak peduli lagi.
Belajar dan Performa?Tindakan
Hal-hal yang dipelajari tidak akan langsung
dimanfaatkan. Atlet misalnya, mungkin belajar posisi tertentu dengan melihat
film dan mendengarkan penjelasan pelatih selama seminggu, namun mereka mungkin
tidak menerjemahkan proses belajar itu kedalam perilaku sampai tiba waktu
pertandingan. Jadi, disini kita mengatakan bahwa potensi untuk bertindak secara
berbeda adalah berasal dari belajar, meskipun perilakunya mungkin tidak dipengaruhi
dengan segera.
Mengapa kita Mengacu pada
Praktik atau Pengalaman?
Jelas bahwa tak semua perilaku dipelajari. Perilaku
yang lebih sederhana adalah hasil dari refleks. Sebuah refleks dapat
didefinisikan sebagai respons yang tak dipelajari lebih dahulu atau respons
pembawaan internal dalam rangka bereaksi terhadap sekelompok stimuli tertentu.
Perilaku yang kompleks juga bisa merupakan karakteristik bawaan. Jika pola
perilaku yang kompleks adalah warisan genetis, maka perilaku itu akan disebut
sebgai contoh dari instinct (naluri). Karena istilah instinct ditawarkan
sebagai penjelasan mengenai perilaku, kini kita cenderung menggunakan istilah
perilaku spesies-spesifik (Hinde & Tinbergen, 1958) karena istilah itu
lebih bersifat deskriptif. Perilaku ini adalah pola perilaku yang kompleks yang
tak dipelajari lebuh dahulu dan relatif tidak bisa dimodifikasi yang dilakukan
oleh binatang spesies tertentu dalam situasi tertentu.
Apakah Belajar berasal dari
jenis pengalam Spesifik?
Menurut definisi Kimble (1961),
belajar berasaldari praktik yang diperkuat. Dengan kata lain, hanya perilaku
yang diperkuat yang akan dipelajari. Pada poin ini, ada perbedaan pendapat di
kalangan ahli teori belajar. Para teoritis ini tidak hanya berbeda pendapaaat
mengenai apa yang merupakan pengautan tetapi juga mengenai apakah penguatan
adalah prasyarat yang harus ada agar terjadi proses belajar.
Definisi Belajar Yang
Dimodifikasi
Untuk merevisi definisi belajar dari Kimble sehingga
definisi ini lebih netral dalam kaitanya dengan aspek penguatan, dan karenanya
bisa diterima lebih luas. Belajar adalah perubahan perilaku atau potensi
perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa
dinisbahkan ke temporary body state (keadaan tubuh temporer) seperti keadaan
yang disebabkan oleh skait, keletihan atau obat-obatan.
PERBEDAAN JENIS-JENIS BELAJAR
Pengondisian klasik
1.
Sebuah stimulus, seperti makanan,
disajikan kepada suatu organisme dan akan menyebabkan reaksi natural dan
otomatis, seperti keluarnya air liur. Reaksi natural ini dinamakan
unconditioned stimulus (US) dan reaksi otomatis dinamakan unconditioned
response (UR).
2. Suatu
stimulus netral (stimulus yang tidak menimbulkan UR), seperti suara atau
cahaya, disajikan kepada organisme itu tepat sebelum penyajian makanan
US(makanan). Stimulus netral ini dinamakan conditioned stimulus (CS) stimulus
bersyarat atau terkondisikan .
3. Setelah
CS dan US dipasangkan beberapa kali, dengan CS selalu mendahului US, kemudian
disajikan CS saja, dan organisme itu akan mengeluarkan air liur. Respons air
liur ini yang sama dengan respons organisme tersebut terhadap US, kini terjadi
saat merespons CS, yakni suara atau cahaya.
Pengondisian Instrumental
Hubungan antara penguatan dan perilaku organisme akan
sangat berbeda dalam pengondisian instrumental. Dalam pengondisian
instrumental, organisme harus bertindak dengan cara tertentu sebelum perilaku
diperkuat; yakni jika binatang tidak melakukan tindakan yang diharapkan,
penguatan tidak terjadi.
BELAJAR DAN SURVIVAL
Organisme juga tidak bisa bertahan hidup lama jika ia
tidak belajar tentang objek mana di dalam lingkungan yang berbahaya dan mana
yang aman. Proses belajar ini juga memungkinkan organisme menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan. Nilai adaptif dari pengondisian klasik ditunjukan
pula oleh fakta bahwa ia biasanya membutuhkan beberapa pasangan antara CS dan
US sebelum pengondisian klasik terjadi.
UNTUK APA MENGKAJI PROSES
BELAJAR?
Karena kebanyakan perilaku manusia itu terbentuk
melalui proses belajar, penelitian atas prinsip-prinsip belajar akan membantu
kita memahami mengapa kita berperilaku seperti yang kita lakukan sekarang.
Pemahaman tentang proses belajar akan menambah pengetahuan kita bukan hanya
tentang perilaku normal dan perilaku adaptif tetapi juga situasi yang
menimbulkan perilaku maladaptif dan perilaku abnormal. Psikoterapi yang efektif
mungkin berasal dari pemahaman semacam ini.
BAB 2
Pendekatan untuk Studitentang Belajar
Saat kita mengkaji belajar,
kita mengamati perilaku atau tindakan ,dan berdasarkan pengamatan ini kita
menyimpulkan tipe belajar tertentu
yang telah terjadi atau yang
tak terjadi. Sulitnya melakukan pengamatan langsung inilah yang menimbulkan
begitu banyak pendekatan studi. Misalnya, beberapa pihak menyatakan bahwa
tempat terbaik untuk mengkaji belajar adalah di lapangan bukan dilaboratorium.
Metode mempelajari fenomena saat fenomena itu terjadi secara alamiah dinamakan
naturalistic observation (observasi naturalistis). Tetapi ada 2 kekurangan
utama dalam pendekatan observasi naturalis ini. Pertama, karena situasi kelas
sangatlah kompleks maka sulit untuk mengamati dan mencatat dengan akurat.
Kedua, ada kecenderungan untuk mengklasifikasi peristiwa ke dalam bagian-bagian
yang mungkin terlalu komprehensif; misalnya apa yang diklasifikasi sebagai
formasi konsep mungkin dalam kenyataan terdiri dari beberapa fenomena berbeda,
dan perbedaan ini akan menghilang dalam proses pengklarifikasi. Klasifikasi
yang kelihatannya sederhana mungkin akan menjadi tampak sangat kompleks jika
diteliti lebih mendalam.
Aspek-aspek Teori
Dalam dunia pengetahuan ilmiah,
empirisme dan rasionalisme menyatu dalam scientific theory (teori ilmiah)
(Hergenhahn & Olson, 2003, h.11). teori ini mengandung dua aspek penting.
Pertama, sebuah teori memiliki formal aspect (aspek normal), yang mencakup kata
dan simbol yang ada didalam teori. Kedua, sebuah teori memiliki empirical
aspect (aspek empiris), yang terdiri dari peristiwa-peristiwa fisik yang hendak
dijelaskan oleh teori sangat kompleks, perlu dicatat bahwa bagian formal dari
teori boleh jadi masuk akal dalam dirinya sendiri meskipun mungkin ia
mengandung perkiraan yang salah tentang dunia fisik. Pernyataan “semua proses
belajar tergantung pada niat” mungkin masuk akal secara formal tapi tidak
menjelaskan secara akurat mengenai proses belajar itu. Scientifict law (kaidah
ilmiah) dapat didefinisikan sebagai hubungan yang konsisten antara dua atau
lebih kelompok kejadian yang terlihat. Semua ilmu pengetahuan ilmiah berusaha
mengungkap kaidah atau hukum tersebut.
Dari Riset Hingga Teori
Tujuan ilmu pengetahuan adalah
untuk menemukan hukum-hukum, penellitian ilmiah tak cukup hanya dengan
mengamati dan mencatat ratusan atau mungkin ribuan hubungan empiris. Ilmuan
biasanya berusaha memahami suatu hukum yang mereka temukan; mereka mencoba
mengelompokannya secara koheren. Pengelompokan ini (1) syntheizing function,
yang berusaha menjelaskan secara sistematis sejumlah besar observasi dan (2)
heuristic function, yang menunjukan jalan ke riset selanjutnya.
Teori sebagai Alat
Karena teori hanya alat riset,
ia tidak bisa dikatakan salah atau benar, ia bisa dikatakan berguna atau tak
berguna. Jika sebuah teori menjelaskan berbagai observasi, dan jika teori memicu
riset lanjutan, maka teori itu bagus. Jika gagal dalam satu dari dua hal itu,
maka periset mungkin akan melakukan riset lagi untuk menemukan teori baru.
Eksperimen Belajar
Setiap eksperimen melibatkan
suatu yang perubahannya diukur, yakni dependent variable (variabel terikat) dan
sesuatu yang dikontrol atau dimanipulasi oleh eksperimenter untuk melihat
efeknya terhadap variabel terikat itu, yakni independent variable (variabel
lepas). Didalam eksperimen yang telah dikemukakan diatas, yakni tingkat kecepatan
belajar dan lamanya deprivasi makanan, tingkat belajar inilah yang diukur dan
karenanya merupakan variabel terikat.
Keputusan Arbiter dalam
Menentukan Eksperimen Belajar
1.
Aspek Apa dari Proses Belajar yang
Harus Diteliti?
Seseorang dapat mengkaji tindak
belajar dilaboratorium, atau mengamati proses belajar yang terjadi di kelas
melalui observasi naturalis.
2.
Teknik Idiografis vs. Nomotetis
Haruskah
periset secara intensif mempelajari proses belajar dari satu subjek
eksperimental didalam beragam situasi (idiographic technique). Atau mereka
harus menggunakan kelompok-kelompok subjek eksperimental dan meneliti performa
rata-rata mereka (nomothetic technique).
3.
Subjek Manusia vs. Subjek Hewan
Nonmanusia
Jika
periset memilih manusia sebagai peserte ekperimental, mereka mesti memikirkan
bagaimana hasil riset dari laboratorium bisa digeneralisasikan ke dunia luar.
Akan tetapi jika mereka memilih subjek nonmanusia, seperti tikus,monyet, atau
burung, mereka juga mesti memikirkan bagaimana menggeneralisasikan proses
belajar dari satu spesies ke spesies lainnya.
4.
Teknik Korelasi vs. Teknik
Eksperimental
Mengkorelasikan
belajar dengan kecerdasan. Karena langkah ini adalah mengkorelasikan satu
respons dengan respons lain, hubungan yang dihasilkan disebut hukum R-R (hukum
respons-respons).
5.
Variabel Bebas Mana yang Harus Dikaji?
Variabel bebas
dalam eksperimen secara otomatis akan muncul. Misal belajar secara operasional
didefinisikan sebagai “trials to criterion”, maka inilah yang akan diukur dalam
eksperimennya. Kemudian, periset mengajukan pertanyaan “apa variabel yang
mungkin mempengaruhi perilaku yang sedang diteliti?”
Contoh :
Perbedaan usia
Ukuran materi stimulus yang
dipakai
Tingkat presentasi
Makna materi yang dipakai
Instruksi
Kecerdasan
Obat-obatan
Interval antar percobaan
Iteraksi dengan tugas-tugas
lain
6.
Seberapa Banyak Level Bebas yang Akan
Diteliti?
Setelah
salah satu variabel bebas terpilih, periset harus menentukan berapa banyak
level variabel bebas yang mesti direpresentasikan dalam eksperimen.
7.
Memilih Variabel Bebas
Variabel bebas
yang umum dalam eksperimen belajar antara lain :
Skor atau
nilai tes
Trials to
extinction
Kecepatan lari
Tikngkat respons
Waktu untuk
menemukan stimulus
Trials to
criterion
Latensi
Probabilitas
respons
Jumlah
kesalahan
Besaran
respons
8.
Analitis dan Interprestasi Data
Setelah data dikumpulakan dala
satu eksperimen, bagaimana kita menganalisisnya? Meskipun ini diluar cakupan
buku ini,namun pembaca harus mengetahui fakta bahwa banyak teknik statistik
untuk analisis yang tersedia bagi periset.
PANDANGAN KUHN TENTANG
BAGAIMANA ILMU PENGETAHUAN BERUBAH
Mungkin akan menimbulkan
kesalahan pemahaman. Dalam buku The Stucture of Scientific Revolutions yang
terbiat pada 1973, Thomas Kuhn (1922-1996) menyakikan pandangan yang berbeda
mengenai ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn,
ilmuwan yang bekerja dibidang tertentu biasanya menerima sudut pandang
tertentu tentang apa-apa yang sedang dipelajari. Misalnya, dahulu kebanyakan
ahli fisika menerima sudut pandang Newtonian dalam kajian fisika mereka.
PANDANGAN POPPER TENTANG ILMU
PENGETAHUAN
Karl popper (1902-1994)
bersikap kritis terhadap pandangan ilmu pengetahuan ini. Menurut Popper (1963),
aktivitas keilmuan ilmiah tidak berawal dengan observasi empiris, namun ia
berawal dengan adanya problem. Menurut Popper, ide bahwa ilmuwan melakukan
berbagai pengamatan empiris dan kemudian berusaha menjelaskan observasi itu
adalah gagasan yang keliru. Menurutnya, peroblem akan menentukan observasi mana
yang akan dilakukan oleh ilmuwan. Langkah selanjutnya adalah mengajukan solusi
persoalan. Teori ilmiah adalah usulan solusi atas problem.
Khun vs. Popper
Menurut Popper, apa yang
disebut Kuhn sebagai ilmu normal bukanlah ilmu pengetahuan sama sekali. Menurut
Popper, keyakinan subjektif yang menurut Kuhn menghubungkan ilmuwan dengan
suatu paradigma akan menghambat pemecahan masalah secara efektif. Dalam analisisnya
atas aktivitas keilmuan, Kuhn menekankan faktor sosiologis dan osiokologis,
sedang analisis Popper menekankan penolakan logis atas solusi problem yang
diusulkan.
BAB 3
GAGASAN AWAL TENTANG BELAJAR
EPISTEMOLOGI DAN TEORI BELAJAR
Epistemology adalah cabang
filsafat yang berkaitan dengan hakikat pengetahuan. Epistomologi mengajukan
pertanyaan seperti apa itu pengetahuan? Apa yang kita bisa tahu? Apa batas
pengetahuan? Apa arti dari tahu atau mengetahui? Darimana asal pengetahuan?.
Meskipun Plato percaya bahwa
pengetahuan itu diwariskan dan Aristoteles percaya bahwa pengetahuan berasal
dari pengalaman indrawi, keduanya menunjukkan contoh dari rationalism karena
keduanya percaya bahwa pikiran secara aktif terlibat dalam pemotretan pengetahuan.
1.
PLATO
Plato (427-347 SM) adalah murid
paling terkenal dari filsuf Socrates. Sebenarnya Socrates tidak pernah menulis
apapun tentang filsafatnya-ajarannya ditulis oleh Plato. Ini adalah fakta yang
paling signifikan karena dialog Plato awal didesain terutama untuk menunjukkan
pendekatan Socratik terhadap pengetahuan dan sebagai kenangan tentang guru
besar itu.
Teori Pengetahuan Kenangan
Menurut Plato, setiap objek di
dunia fisik memiliki “ide” atau “bentuk” abstrak yang menyebabkannya. Misalnya,
ide abstrak untuk kursi berinteraksi dengan materi untuk menghasilkan sesuatu
yang kita namakan kursi. Ide pohon berinteraksi dengan materi untuk membentuk
apa yang kita namakan pohon. Semua objek fisik memiliki asal-usul semacam itu.
Jadi, apa yang kita alami lewat indra adalah kursi, pohon, atau rumah. Ide murni atau esensi dari berbeda-beda ini
eksis secara independen dari materi, dan sesuatu akan hilang ketika
diterjemahkan ke dalam materi.
2. ARISTOTELES
Aristoteles (384-322 SM), salah
satu murid Plato, pada awalnya menganut ajaran Plato namun kemudian berbeda
pendapat dengannya. Perbedaan dasar antara kedua pemikir itu adalah dalam sikap
mereka terhadap informasi indrawi. Bagi Plato informasi indrawi itu adalah
halangan dan merupakan sesuatu yang tak bisa dipercaya. Namun, Aristoteles
menganggap informasi indrawi adalah basis dari semua pengetahuan. Dengan
sikapnya yang mendukung observasi empiris, Aristoteles menyusun banyak fakta
tentang fenomena fisik dan biologi. Karena Aristoteles berpendapat bahwa sumber
pengetahuan adalah pengalaman indrawi maka dia disebut sebagai empiris.
Aristoteles merumuskan laws of associantion, dia mengatakan bahwa pengalaman
atau ingatan akan satu objek cenderung menimbulkan ingatan akan hal-hal yang
serupa dengan objek itu. Selain mempopulerkan investigasi empiris, Aristoteles
juga memberi beberapa kontribusi bagi psikolog. Dia menulis sejarah psikolog
pertama, yang diberi judul De Anima. Dia menulis tentang indra manusia, yang
terdiri dari penglihatan,pendengaran, penciuman, rasa, dan sentuhan. Setelah
Aristoteles meninggal, surutlah harapan akan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan empiris.
AWAL PSIKOLOGI MODERN
Rene Descartes (1596-1650)
berusaha mengkaji semua filsafat dengan sikap ragu “saya bisa meragukan
segalanya” katanya, “kecuali satu hal, yakni fakta bahwa saya itu ragu. Namun
ketika saya ragu, saya berfikir, dan saayt saya berfikir, saya pasti ada.”
Thomas Hobbes (1588-1679)
menentang gagasan bahwa ide bawaan adalah sumber pengetahuan. Dia berpendapat
bahwa kesan indra adalah sumber dari semua pengetahuan. Dengan keyakinan ini,
Hobbes membuka kembali filsafat empirisme dan assosiasonisme. Hobbes percaya
bahwa stimuli dapat membantu atau menghambat fungsi vital dari tubuh. Stimulus
yang membantu pelaksanaan fungsi vital tubuh akan menyebabkan perasaan senang,
dan karenanya seseorang akan berusaha mencari kesenangan ini. Menurut Hobbes,
perilaku manusia dikontrol oleh “hasrat-keinginan” dan “keengganan”. “
kejadian-kejadian yang dikejar manusia disebut “baik” dan yang menghindari
manusia disebut “jahat”. Kelak Jeremy Bentham (1748-1822) mengatakan bahwa
perilaku manusia diatur oleh prinsip kesenangan, sebuah gagasan yang diambil
oleh Freud dan kemudian oleh para teoritisi penguat.
JohnLock (1632-1704) juga
menentang gagasan ide-ide bawaan. Menurutnya pikrian terdiri dari ide, dan ide
datang dari pengalaman. Lock adalah seorang empiris, tetapi perhatikan bahwa
filsafatnya mengandung unsur rasionalistik. Seperti Galileo, Locke membedakan antara
kualitas primer dan sekunder. Kualitas primer adalah karakteristik dunia fisik
yang cukup kuat untuk menimbulkan representasi mental yang akurat dipikiran
penerima. Kualitas sekunder adalah karakteristik dunia fisik yang terlalu lemah
atau terlalu kecil untuk menimbulkan representasi mental yang akurat dalam
pikiran penerima.
Dan masih banyak filsuf-filsuf
di era modern seperti George Berkeley, David Hume, Immanuel Kant, John Stuart
Mill, Thomas reid, Charles Darwin, dll.
MAZHAB PSIKOLOGI AWAL
1.
Voluntarisme
2 Strukturalisme
3 Fungsionalisme
4 Behaviorisme
BAB 4
EDWARD LEE
THORNDIKE
Sejarah Teori Belajar Thorndike
Edward Lee Thorndike ialah seorang
fungsionalis. Meski demikian, ia telah membentuk tahapan behaviorisme Rusia
dalam versi Amerika. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar sarjananya dari
Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard
pada tahun 1897. Ketika di sana, Thorndike mengikuti kelasnya Williyams James
dan mereka pun menjadi akrab. Thorndike menerima beasiswa di Colombia, dan
dapat menyelesaikan gelar PhD-nya tahun 1898. Kemudian dia tinggal dan mengajar
di Colombia sampai pensiun pada tahun 1940.
Thorndike berhasil menerbitkan suatu buku
yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of associationprocess
in Animal”. Buku tersebut merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah
beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung yang mencerminkan
prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar
dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah asosiasi, suatu stimulus
akan menimbulkan suatu respon tertentu.
Teori yang dikemukakan Thorndike
dikenal dengan teori SR. Dalam teori SR dikatakan bahwa dalam proses belajar,
pertama kali organisme belajar dengan cara coba salah (Trial end error).
Apabila suatu organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah,
maka organisme itu akan mengeluarkan tingkah laku yang serentak dari kumpulan
tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan
pengalaman itulah, maka pada saat menghadapi masalah yang serupa, organisme
sudah tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan
masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku
tertentu. Sebagai contoh; seekor kucing yang dimasukkan dalam kandang yang
terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai
suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu
sehingga kandang itu terbuka dan kucing pun bisa keluar. Sejak saat itulah,
kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.
Definisi Teori Belajar Menurut
Thordike
Pada awalnya, pendidikan dan pengajaran
di Amerika Serikat didominasi oleh adanya pengaruh dari Thorndike (1874-1949).
Teori belajar Thorndike dikenal dengan “Connectionism” (Slavin, 2000). Hal ini
terjadi karena menurut pandangan Thorndike bahwa belajar merupakan proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan / tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Teori dari Thorndike dikenal pula
dengan sebutan “Trial and error” dalam menilai respon-respon yang terdapat bagi
stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil - hasil
penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan
tingkah laku anak - anak dan orang dewasa. Adapun objek penelitian yang dikaji
dihadapkan pada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek tersebut
melakukan berbagai aktivitas untuk merespon situasi itu.Sebagai contoh yaitu
seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kandang yang terkunci, maka kucing
tersebut akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai
suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu
sehingga kandang itu terbuka dan akhirnya kucing pun bisa keluar. Sejak saat
itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang
yang sama.
Eksperimen – Eksperimen
Thorndike
Bentuk belajar yang khas pada hewan
maupun manusia oleh Thorndike disifatkan sebagai trial and error atau learning
by selecting and connecting. Organism ( pelajar, dalam eksperimen dipergunakan
hewan juga ). Pada mulanya, model eksperimen Thorndike yaitu dengan
mempergunakan kucing sebagai subjek dalam eksperimennya. Eksperimennya yang
khas adalah dengan kucing, dipilih yang masih muda yang kebiasaan –
kebiasaannya masih belum kaku, dibiarkan lapar, lalu dimasukkan ke dalam
kurungan yang disebut sebagai “problem box”. Dengan konstruksi pintu kurungan
yang dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu,
maka pintu kurungan akan terbuka dan akhirnya kucing dapat keluar dan mancapai
makanan ( daging ) yang ditempatkan di luar kurungan sebagai hadiah atau daya
penarik bagi kucing yang lapar tersebut.
Pada usaha ( trial ) yang pertama kucing
itu melakukan bermacam–macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan
masalah, misalnya mencakar, menubruk, dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh
tombol dan pintu terbuka. Adapun waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang pertama
berlangsung lama. Namun, ketika percobaan tersebut telah dilakukan secara
berulang – ulang, maka waktu yang dibutuhkan akan semakin singkat. Thordike
menafsirkan bahwa “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri
dari kurungan itu, tetapi dia belajar mencamkan ( mempertahankan ) respon –
respon yang benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon – respon yang
salah.”
Eksperimen Thorndike tersebut
mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf insansi ( human ). Dia
yakin bertentangan dengan kepaercayaan umum bahwa tingkah laku hewan sedikit
sekali dipimpin oleh pengertian. Dengan hal tersebut memberikan keyakinan
kepada Thorndike bahwa hal – hal yang menjadi dasar proses belajar pada hewan
dan pada manusia adalah sama saja.
Ciri – Ciri Belajar Menurut
Thorndike
Adapun beberapa ciri – ciri
belajat menurut Thorndike, antara lain :
1. Ada motif pendorong
aktivitas
2. Ada berbagai respon terhadap
sesuatu.
3. Ada aliminasi respon -
respon yang gagal atau salah
4. Ada kemajuan reaksi – reaksi
mencapai tujuan dari penelitiannya itu.
Thorndike sebelum 1930
Pemikiran Thorndike tentang
proses belajar dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama adalah pemikiran
sebelum tahun 1930 dan kedua adalah pasca 1930.
Hukum - Hukum yang digunakan
Edward Lee Thorndike:
Thorndike menyatakan bahwa
belajar pada hewan maupun manusia berlangsung berdasarkan tiga macam hukum
pokok belajar, yaitu :
1.Hukum kesiapan ( Law of readiness )
Law of readiness adalah prinsip
tambahan yang menggambarkan taraf fisiologis bagi law of effect. Hukum ini
menunjukkan keadaan – keadaan dimana pelajar cenderung untuk mendapatkan
kepuasan atau ketidakpuasan, menerima atau menolak sesuatu.
Menurut Thorndike ada tiga
keadaan yang demikian itu, yaitu :
a. Kalau suatu unit konduksi
sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit tersebut akan membawa
kepuasan, dan tidak akan ada tindakan – tindakan lagi ( yang lain ) untuk
mengubah konduksi itu.
b. Unit konduksi yang sudah
siap untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan menimbulkan
ketidakpuasan, dan akan menimbulkan respon – respon yang lain untuk mengurangi
atau meniadakan ketidakpuasan itu.
c. Apabila unit konduksi yang
tidak siap berkonduksi dipaksa untuk berkonduksi, maka konduksi itu akan
menimbulkan ketidakpuasan dan berakibat dilakukannya tindakan – tindakan lain
untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu.
Dalam hal ini Thorndike
menggunakan istilah “unit konduksi” sebenarnya tidak mempunyai arti fisiologis
yang pasti. Sebab misalnya saja adalah sangat sukar dimengerti bagaimana satu
unit fisiologis yang tidak siap berkonduksi dibuat berkonduksi. Karena itu
untuk dapat memahami arti hukum tersebut haruslah dilakukan interpretasi. Jika
istilah “unit konduksi” diganti dengan “kecenderungan bertindak” maka arti
psikologis daripada law of readiness menjadi jelas. Jadi, apabila kecenderungan
bertindak itu timbul karena penyesuaian diri atau hubungan dengan sekitar,
karena sikap dan sebagainya, maka memenuhi kecenderungan itu di dalam tindakan
akan memberikan kepuasan dan tidak memenuhi kecenderungan tersebut akan menimbulkan
ketidakpuasan. Jadi, sebenarnya readiness itu adalah persiapan untuk bertindak,
ready to act.
Sebagai ilustrasinya, Thorndike
menggambarkan sebagai berikut :
a. Hewan mengejar mangsanya,
siap untuk menerkam dan memakannya.
b. Seorang anak melihat sesuatu
barang yang sangat menarik di kejauhan, siap untuk menghampirinya, memegangnya,
dan mempermainkannya.
2. Hukum latihan ( Law of
exercise )
Law of exercise mengandung dua
hal, yaitu sebagai berikut.
a. Law of use, hubungan –
hubungan atau koneksi – koneksi akan menjadi bertambah kuat kalau ada latihan.
b. Law of disuse, hubungan –
hubungan atau koneksi – koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau
latihan – latihan atau penggunaan dihentikan.
Persoalan menjadi kuat itu ditentukan oleh meningkatnya
kemungkinan bahwa respons akan dilakukan apabila situasi yang demikian itu
dihadapi lagi. Kemungkinan ini dalam dua bentuk, yaitu ;
a. Menjadi lebih besarnya
kemungkinan kalau situasi atau kejadian segera diulangi.
b. Rendahnya kemungkinan kalau
berulangnya kejadian itu berjarak lama.
Akan tetapi, keterangan tetang kekuatan
dengan kemungkinan itu menjadi bahan perbantahan. Pada umumnya, orang di
Amerika Serikat menolak dasar structural yang dikemukakan oleh Thorndike
mengenai hubungan ( koneksi ) itu, yaitu perubahan – perubahan menjadi lebih
kuat atau lebih lemahnya hubungan itu mempunyai dasar neorlogis yang terdapat
pada synapsis – synanpsis. Karena keterangan tesebut mengandung kelemahan –
kelemahan, maka Thorndike pada akhirnya membuat perubahan – perubahan pada
hukum tersebut.
3. Hukum efek ( Lae of effect )
Law of effect menunjukkan
kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat daripada hasil
respons yang dilakukan. Apabila suatu hubungan atau koneksi dibuat dan disertai
atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan
bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan disertai atau diikuti
oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.
Perumusan hukum efek banyak
menerima kritikan. Pada pokoknya, ada dua keberatan yang diajukan terhadap
hukum efek tersebut, yaitu :
a. Kepuasan dan ketidakpuasan
adalah masalah subjektif, jadi tidaklah tepat untuk menggambarkan tingkah laku
hewan.
b. Pengaruh ( effect ) daripada
apa yang dialami atau terjadi di masa lampau yamg dirasakan kini tidak dapat
diterima, sebab apa yang lampau adalah sudah lampau dan pengaruhnya tidak dapat
dirasakan.
Perumusan Thorndike banyak
mengandung kelemahan – kelamahan. Jika dikatakan dengan sederhana yang dimaksud
Thorndike adalah : Hadiah atau sukses akan berakibat dilanjutkannya atau
diulanginya perbuatan yang membawa hadiah atau sukses itu, sedang hukuman atau
kegagalan akan mengurangi kecenderungan untuk mempertahankan atau mengulangi
tingkah laku yang membawa hukuman atau kegagalan itu.
Selain hukum pokok belajar tersebut di
atas, masih terdapat hukum subside atau hukum – hukum minor, yaitu :
a. Law of multiple response
Supaya sesuatu respons itu
memperoleh hadiah atau berhasil, maka respons itu harus terjadi. Apabila
individu dihadapkan pada sesuatu soal, maka dia akan mencoba – coba berbagai
cara; apabila tingkah laku yang tepat ( yakni yang membawa penyelesaian atau
berhasil ) dilakukan maka sukses terjadi, dan proses belajar pun terjadi. Hal
tersebut akan berlaku sebaliknya.
b. Law of attitude ( law of
set, law odf disposition )
Respons – respons apa yang
dilakukan oleh individu itu ditentukan oleh cara penyelesaian individu yang
khas dalam menghadapi lingkungan kebudayaan tertentu. Sikap ( attitude ) tidak
hanya menentukan apa yang akan dikerjakan oleh seseorang tetapi juga cara yang
kiranya akan memuaskan atau tidak memuaskan baginya.
c. Law of partial activity (
law of prepotency element )
Pelajar atau organism dapat
bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan – kemungkinan yang ada dalam
situasi tertentu. Manusia dapat memilih hal – hal yang pokok dan mendasarkan
tingkah lakunya kepada hal – hal yang pokok itu serta meninggalkan hal – hal
yang berkecil – kecil.
d. Law of response by analogy (
law of assimilation )
Orang bereaksi terhadap situasi
yang baru sebagaimana dia bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan itu yang
dihadapinya di waktu yang lalu, atau dia bereaksi terhadap hal atau unsur
tertentu dalam situasi yang telah berulang kali dihadapinya. Jadi, respons –
respons selalu dapat diterangkan dengan apa yang telah pernah dikenalnya,
dengan kecenderungan asli yang berespons.
e. Law of assosiative shifting
Apabila suatu respons dapat
dipertahankan berlaku dalam serangkaian perubahan – perubahan bahan dalam
situasi yang merangsang, maka respons itu akhirnya dapat diberikan kepada
situasi yang sama sekali baru.
Thorndike Pasca 1930
Teori Thorndike masih tetap ada
sampai tahun 1930. Namun, dengan berkembang dan munculnya aliran – aliran yang
lain, maka mulailah bermunculan kritik mengenai teori yang telah dikemukakan
oleh Thorndike. Para ahli mengemukakan bahwa teori Thorndike tidak seluruhnya
benar, terutama dengan berbagai eksperimennya yang menunjukkan adanya kelemahan
tentang teori tersebut.
Adapun revisi hukum – hukum
dasarnya dituliskan dalam berbagai majalah, yang hasil – hasil pokoknya
dituliskan dalam dua buah buku, yaitu :
1. The fundamentals of learning
( 1935 ), dan
2. The psychology of wants,
interest and attitudes ( 1935 ).
Berikut adalah revisi pendapat
yang dikemukakan, yaitu :
1.
Law of readiness (hukum kesiapan) boleh dikata tak diubah sama sekali.
2. Law of exercise (hukum
latihan atau penggunaan) praktis diubah sama sekali.
Ketidakbenaran atau ketidakpastian law of
exercise ditunjukkan dengan eksperimen. Adapun eksperimen yang menunjukkan
kelemahan yaitu “ulangan yang berlangsung dalam keadaan di mana law of effect
itu tidak bekerja.” Misalnya : berulang – ulang membuat garis yang panjangnya
10 cm tanpa mengetahui garis yang dibuatnya itu terlalu pendek atau terlalu
panjang.
Jadi, ulangan itu an sich tidaklah
menghasilkan apa – apa; ulangan hanya membawa hasil kalau ada faktor lain yang
bekerja yang menyebabkan ulangan itu efektif ( berhasil ). Misalnya dalam
contoh di atas : jika sekiranya subjek tahu garis yang telah dibuatnya itu
terlalu panjang atau terlalu pendek, maka tentulah usaha yang berikutnya akan
lebih berhasil ( lebih baik hasilnya ).
3. Perubahan law of effect
(hukum efek)
Sejumlah eksperimen menunjukkan
bahwa pengaruh ( effect ) hadiah dan hukuman tidak bertentangan lurus seperti
apa yang dikemukakan lebih dahulu, yaitu pengaruh hadiah memuaskan dan pengaruh
hukuman tidak memuaskan, serta besarnya kepuasan dan ketidakpuasan itu sama atau
sebanding, tetapi ternyata bahwa dalam keadaan di mana aksi simetris mungkin
dilakukan hadiah nampaknya lebih kuat pengaruhnya daripada hukuman.Salah satu
eksperimen mengenai ini ialah dengan ayam. Suatu labirin yang sederhana dengan
dua jalan pilihan, yaitu :
1). Pilihan pertama menuju ke
kebebasan, dan berkumpul dengan teman–temannya serta mendapatkan makanan (
hadiah ).
2). Pilihan kedua kembali
kekurangan lagi ( hukuman ).
Dengan statistic diperhitungkan
kecenderungan untuk mngulangi pilihan yang membawa dhadiah dan menghindari
pilihan yang memberikan hukuman.
4. Belongingness
Thorndike mengamati bahwa dalam
proses belajar asosiasi ada faktor selain kontinguitas dan hukum efek. Jika
kontinguitas adalah satu- satunya faktor yang memengaruhi, semua urutan kata
itu seharusnya dikuasai dan diingat dengan baik. Tetapi kenyataannya tidak
demikian. Rata- rata asosiasi yang benar dari ujung satu kalimat ke awal
kalimat berikutnya adalah 2,75; sedangkan rata- rata jumlah asosiasi yang benar
antara kombinasi kata pertama dan kedua adalah 21,50. Jelas, ada sesuatu yang
beroperasi selain kontiguitas, dan sesuatu itu oleh Thorndike dinamakan
belongingness, artinya sifat- sifat suatu item yang dalam kasus ini subyek dan
kata kerja yang erat hubungannya dengan atau menjadi bagian integral dari item
yang lain.
Dengan konsep belongingness
ini, Thorndike berpendapat bahwa jika ada hubungan yang natural antara keadaan
yang dibutuhkan organisme dengan efek yang ditimbulkan suatu respon maka proses
belajar akan lebih efektif ketimbang jika hubungan itu tidak alamiah.
Maka kita melihat bahwa
Thorndike menggunakan konsep belongingness dalam dua cara. Pertama, dia
menggunakannya untuk menjelaskan mengapa ketika mempelajari materi verbal
seseorang akan cenderung mengorganisasikan apa- apa yang dipelajarinya dalam
unit- unit yang dianggap masuk dalam golongan yang sama. Kedua, Thorndike
mengatakan bahwa jika efek- efek yang dihasilkan oleh suatu respon yang terkait
dengan kebutuhan organisme, proses belajar akan lebih efektif ketimbang efek
yang dihasilkan itu tidak terkait dengan kebutuhan organisme.
5. Penyebaran Efek
Sesudah tahun 1930, Thorndike
menambahkan konsep teoritis lainnya, yang disebutnya sebagai spread of effect (
Penyebaran Efek ). Semala eksperimennya, Thorndike secara tak sengaja menemukan
bahwa keadaan yang memuaskan tidak hanya menambah probabilitas terulangnya
respon yang menghasilkan keadaan yang memuaskan tersebut tetapi juga
meningkatkan probabilitas terulangnya respon yang mengitari respons yang
memperkuat itu.
Salah asatu eksperimen yang
menunjukkan efek ini adalah eksperimen yang menghadirkan sepuluh kata, seperti
catnip, debate, dan dazzle, kepada partisipan yang diberi instruksi untuk
merespon dengan angka dari 1 sampai 10. Jika partisipan merespon satu angka
dengan angka yang sebelumnya yang telah ditentukan oleh eksperimenter,
eksperimenter akan berkata “ benar “. Dan jika subyek merespon dengan angka
yang berbeda dengan angka yang telah ditetapkan, maka eksperimenter berkata “Salah“.
ILMU PENGETAHUAN DAN NILAI
MANUSIA
Thorndike dikritik karena ia
mengasumsikan determinisme dalam studi perilaku manusia. Para pengkritik
mengatakan bahwa mereduksi perilaku manusia menjadi reaksi otomatis terhadap
lingkungan akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Jelas, Thorndike adalah
manusia penuh warna yang mengekspresikan opininya tentang berbagai macam topik.
Mahasiswa yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Thorndike
disarankan membaca The Sane Positivistic: A Biography of Edward L. Thorndike
yang ditulis oleh Geraldine Joncich (1968).
PENDIDIKAN MENURUT THORNDIKE
Baru belakangan ini kita
menyadari pentingnya definisi tujuan pendidikan secara behavioral. Meskipun
tujuh aturan Thorndike (1922) dibawah ini dirumuskan untuk mengajarkan
aritmatika,namun aturan ini mewakili saran-sarannya untuk pengajaran pada
umumnya:
1.
Perhatikan situasi yang dihadapi
murid.
2.
Pertimbangkan respons yang ingin anda
kaitkan dengan situasi itu.
3.
Jalinan ikatan; jangan harap jalinan
ini berbentuk secara ajaib.
4.
Jika hal-hal lain tak berubah, jangan
jalin ikatan yang nanti harus diputuskan lagi.
5.
Jika hal-hal lain tidak berubah,
jangan menjalin dua atau tiga ikatan apabila satu saja sudah cukup.
6.
Jika hal-hal lain tak berubah,
bentuklah ikatan dengan cara yang membuat mereka mesti bertindak.
7.
Karenanya dukunglah situasi yang
ditawarkan oleh kehidupan itu sendiri, dan dukunglah respons yang dituntut oleh
kehidupan itu.
EVALUASI TEORI THORNDIKE
1.
Kontribusi
Karta rintisan Thorndike memberi alternatif tersendiri untuk
mengkoonseptualkan belajar dan perilaku dan memberi pendekatan yang jauh
berbeda dengan pendekatan sebelum dia. Sebelum studi Thorndike, tidak ada
pembahasan eksperimental yang sistematis terhadap proses belajar.
2.
Kritik
Walaupun telah
ditunjukan bahwa beberapa fenomena yang ditemukan oleh Thorndike, seperti
penyebaran efek, misalnya dalah karena akibat dari proses yang bukan
diidentifikasinya (Etes, 1969b;Zirkle, 1946), kritik penting terhadap teori
Thorndike berfokus pada dua isu utama. Pertama, berkaitan dengan definisi unsur
pemuas dalam hukum efek. Yang kedua, juga berkaitan dengan hukumm efek, adalah
soal definisi yang terlalu menistik atas teori belajar. Kritik terhadap hukum
efek menyatakan bahwa argumen Thorndike bersifat sirkular(berputar-putar).
BAB 8
EDWIN RAY GUTHRIE
Konsep
Teoritis Utama
Hukum belajar
yang dikemukakan oleh Guthrie adalah hukum kontiguitas (law of contiguity).
Maksudnya adalah : “ kombinasi stimuli yang mengiringi gerakan akan cenderung
diikuti oleh gerakan itu jika kejadiaannya berulang”. Jadi, jika pada situasi
tertentu kita melakukan sesuatu, maka pada waktu lain dan situasinya sama kita
akan cenderung melakukan hal yang sama juga.
Hukum tersebut
diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan oleh Thorndike
dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan bahwa, jika
respons menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi
lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model kondisional
berupa CR-CS-US-UR. Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie berlebihan.
Pada publikasi
terahirnya sebelum meninggal, Guthrie sempat merevisi hukum kontiguitasnya
menjadi, “apa- apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa- apa yang
dilakukan”. Alasannya karena terdapat berbagai macam stimuli yang dihadapi oleh
organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk
asosiasi dengan semua stimuli itu. Organisme hanya akan memproses secara
efektif pada sebagian kecil dari stimuli yang dihadapinya, dan selanjutnya
proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respons.
Cara
Memutuskan Kebiasaan
Kebiasaan
dalam teori Guthrie ini didefinisikan sebagai sebuah respon yang diasosiasikan
dengan beberapa stimuli yang berbeda. Untuk menghentikan kebiasaan yang
inappropriate ( tidak sesuai ) maka kebiasaan itu perlu diputus. Untuk itu,
perlu memutus pula hubungan antara asosiasi dengan 'cues' yang memunculkan
stimuli (rangsangan) dan respons. Ada tiga metode yang ditawarkan oleh Gutrhrie
untuk memutuskan kebiasaan yaitu :
1.
Ambang Batas (threshold) Mengenalkan
stimuli dengan kekuatan yang lemah. Secara perlahan meningkatkan kekuatan
stimuli, tetapi menjaganya dibawah respons batas minimal. Contoh: memasang
pelana kuda : mulai dengan selimut yang ringan , kemudian selimut yang lebih
berat, baru kemudian pelana kuda.
2.
Metode fatigue (kelelahan) "
mengeluarkan " semua respons dalam menghadirkan stimuli. Contoh:
melemparkan pelana diatas kuda dan menaiki kuda samapai kuda meringkik,
menendang, dan berusaha sekuat tenaga untuk melempar orang yang menaikinya.
(joki) : pelana dan joki menjadi stimulus untuk berjalan dan berlari dengan
tenang.
3.
Metode respons tandingan (incompatable
Respons Methode Memasangkan stimulus (S1) yang menyebaabkan perilaku tidak
sesuai (inapropiate) dengan stimulus (S2) yang memunculkan respons-respons yang
sesuai (apropiate), perilaku yang sesuai diasosiasikan dengan stimulus (S2).
Contoh: untuk menghentikan menghindar dan takut berlebihan, dengan memasangkan
ketakutan pada suatu objek ( seperti harimau mainan ) dengan sebuah stimulus
yang memunculkan perasaan hangat dan penuh kasih saying., seperti gambar
seorang ibu.
Membelokkan
Kebiasaan
Ada perbedaan
antara memutus kebiasaan dengan membelokkan kebiasaan. Membelokkan kebiasaan
dilakukan dengan menghindari petujnjuk yang menimbulkan perilaku yang tak
diinginkan. Jika anda mengumpulkan sejumlah besar pola perilaku tak efektif
atau menyebabkan kecemasan, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah meningkatkan
situasi itu. Guthrie menyarankan agar anda pergi kesuatu lingkungan baru yang
memberi anda kesegaran baru karena anda tidak punya banyak asosiasi dengan
lingkungan baru.
Hukuman
Hukuman akan
efektif jika menghasilkan respons baru terhadap stimuli yang sama. Hukuman
berhasil mengubah perilaku yang tidak diinginkan karena hukuman menimbulkan
perilaku yang tidak kompitabel dengan perilaku yang dihukum. Hukuman akan gagal
jika perilaku yang disebabkan oleh hukuman selaras dengan perilaku yang
dihukum.
Dorongan
Drives
(dorongan) fisiologis merupkan apa yang oleh Guthrie dikatakan maintaining
stimuli (stimuli yang mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai
tujuan tercapai.
Niat
Respons yang
dikondisikan ke maintaining stimuli dinamakan intentions (niat). Respons
tersebut dinamakan niat karena maintaining stimuli dari dorongan biasanya
berlangsung selama periode waktu tertentu (sampai dorongan berkurang).
Transfer
Training
Karena pada
dasarnya seseorang akan menunjukkan respons yang sesuai dengan stimuli jika
pada kondisi yang sama. Guthrie selalu mengatakan pada mahasiswa
universitasnya, jika anda ingin mendapat manfaat terbesar dari studi anda, anda
harus berlatih dalam situasi yang persis sama-dalam kursi yang sama-di mana
anda akan diuji. Jika anda belajar sesuatu di kamar, tidak ada jaminan
pengetahuan yang diperoleh disitu akan ditransfer ke kelas.
Formalisasi
Teori Guthrie Oleh Voeks
Dalam
pernytaan ulang Voeks atas teori Guthrie ada 4 postulat dasar, 8 definisi dan 8
teorema. Postulat itu berusaha meringkaskan banyak prinsip belajar umum dari
Guthrie, sedang definisinya berusaha menjelaskan beberapa konsep Guthriean
(seperti stimulus, petunjukn, respon dan belajar), teoremanya adalah deduksi
dari postulat dan definisi yang dapat di uji secara eksperimental. Voeks
menguji sejumlah deduksi dan menemukan sejumlah bukti yang mendukung teorti
Guthrie. Sebagaian besar formalisasi Voeks atas teori Guthrie dan riset yang
dihasilkannya, terlalu komplek untuk dipaparkan disini. Tetapi 4 postulat Voeks
sudah cukup meringkaskan dan menjadi contoh dari formalisasi dari teori Guthrie
yng dilakukannya.
1.
Postulat I:Prinsiple of
association,(a) setiap pola stimulus yang pernah mengirimi satu respon, dan
atau muncul lebih awal setelah detik atau kurang, akan menjadi petunjuk
langsung yang kuat untuk respon itu. (b) ini adalah salah satunya cara di mana
pola stimulus yang bukan petunjuk untuk respon tertentu menjadi petunjuk
langsung untuk respon itu ( Voeks, 1950, h. 342) .
2.
Postulat II : Prinsiple of Postremity, (a) suatu
stimulus yang mengiringi atau mendahului dua atau lebih respon yang tidak
kompatibel adalah stimulus yang dikondisikan hanya untuk respon terakhir yang
diberi saat stimulus itu masih ada.(b) ini adalah satu-satunya cara dimana
stimulus yang merupakan petunjuk untuk respon tertentu kini tidak lagi menjadi
petunjuk bagi respon itu ( Voeks, 1950, h. 344).
3.
Postulat III : Prinsiple of Response
Probability : Probabilitas dari kejadian respon tertentu pada waktu tertentu
merupakan suatu fungsi dari proporsi kehadiran stimuli yang adalah petunjuk
bagi respon pada waktu itu. (Voeks, 1950, h.348).
4.
Postulah IV :Prinsiple of Dynamic
Situations. Pola stimulus dari suatu situasi tidaklah statis tetapi
dimodifikasi dari waktu kewaktu karena ada perubahan dari respon yang diberikan
subjek, akumulasi kelelahan, perubahan reaksi dan proses internal lainnya
didalam subjek, serta karena kadirnya variasi terkontrol dan tak terkontrol
dalam stimuli yang ada saat itu ( Voeks ,1950, h. 350).
Pembaca tidak
boleh menyimpulkan bahwa teori belajar Guthrie hanya menarik secara historis.
Seperti yang akan kita diskusikan nanti, saat kita membahas Villiam K.Estes,
salah satu trend dalam teori belajar modern adalah mengarang kepenggunaan model
matematika dalam menjelaskan proses belajar. Teori belajar Guthrie adalah teori
yang member basis untuk model matematika untuk teori belajar awal dan masih
tetap berada di jantung dari sebagaian besar teori belajar modern.
Pendapat
Guthrie Tentang Pendidikan
Seperti halnya
Thorndike, Guthrie menyarankan proses pendidikan dimulai dengan menyatakan
tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus dibuat untuk stimuli. Dia
menyarankan lingkungan belajar yang akan memunculkan respons yang diinginkan
bersama dengan adanya stimuli yang akan diletakkan padanya. Jadi motivasi
dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan adalah siswa mesti merespons
dengan tepat dalam kehadiran stimuli tertentu.
Latihan
(praktik) adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimuli untuk
menghasilkan perilaku yang diinginkan.karena setiap pengalaman adalah unik,
seseorang harus “belajar ulang” berkali-kali. Guthtrie mengatakan bahwa belajar
2 ditambah 2 di papan tulis tidak menjamin siswa bisa 2 ditambah 2 ketika
dibangku. Karena memungkinkan siswa akan belajar meletakkan respons pada setiap
stimuli.
1. Guru harus dapat mengarahkan performa siswa
akan menjadi apa ketika mempelajari sesuatu. Dengan kata lain , apakah stimuli
yang ada dalam buku atau pelajaran yang menyebabkan siswa melakukan belajar.
2. Oleh karena itu, jika siswa mencatat atau
membaca buku secara sederhana mereka dapat mengingat lebih banyak informasi.
Maka dalam hal ini buku akan menjadi stimuli yang dapat digunakan sebagai
perangsang untuk menghafal pelajaran.
3. Dalam mengelola kelas, guru dianjurkan untuk
tidak memberikan perintah yang secara langsung akan menyebabkan siswa menjadi
tidak taat terhadap peraturan kelas. Misalnya permintaan guru agar siswa tenang
jika diikuti oleh kegaduhan dalam kelas akan menjadi tanda (memunculkan stimuli
) bagi munculnya perilaku distruptif.
Evaluasi Teori Guthrie
Kontribusi
Guthrie adalah unik dalam penegasannya bahwa belajar
berasal dari kontinguitas antara stimuli dan respon dan kontiguitas saja.
Bahkan pengulas teori belajar awal (Mueller & Schoenfeld,1954) menunjukkan
pendekatan kontinguitas Guthrie yang sederhana dapat menjelaskan semua fenomena
dasar yang di analisis oleh Skinner atau Hull. Teori Guthrie amat menarik
banyak ilmuwan karena teorinya dapat menyelaskan proses belajar, penyelapan dan
generelisasi, dengan analisis sederhana. teorinya menyediakan penjelasan
alternatif yang penting mengenai belajar. Selain itu teorinya berfungsi sebagai
pengingat bahwa suatu teori tidak harus sangan ruwet untuk menjelaskan perilaku
yang kompleks.
Kritik
Eksperimen (Guthrie & Horrton) yang disajikan dalam
bukti teori, adalah contoh yang dikritik Mueller & Schoenfeld. Moore &
Stuttard (1979) menunjukkan bahwa, seperti keluarga kucing lainnya termasuk
kucing peliharaan, kucing dalam eksperimen Guthie dan horrton melakukan
perilaku mengosok dan mengendus yang bersifat naluriah dan biasanya dilakukan
saat kucing menyambut kucing lain yang dikenalinya atau manusia yang
dikenalinya mereka mengamati bahwa kucing menunjukkan perilaku stereotip yang
konsisten seperti yang dilaporkan oleh Horton dan Guthrie (1946) bahkan ketika
tindakan mengosok-gosokan badanya ketuas tidak menghasilkan penguatan dan
perubahan dalam kondisi stimuli apapun.
BAB 13
Albert Bandura
Albert Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di Mundare,
kota kecil di Alberta, Canada. Dia mendapat gelar B.A. dari University of
British Columbia, Kemudian M.A. pada 1951, dan Ph.D. pada 1952 dari University
of Lowa. Bandura kini menjabat sebagai David Starr Jordan Professor of Social
Science di Fakultas Psikologi di Universitas Stanford. Saat di Univesity of
Lowa, Bandura dipengaruhi oleh Kenneth Spence, seorang teoretisi Hullian
terkemuka, tetapi minat utama Bandura adalah psikologi klinis. Pada saat itu, Bandura
ingin menjelaskan gagasan yang dianggap efektif dalam psikoterapi dan kemudian
menguji dan memperbaiki gagasan itu. Pada periode ini pula Bandura membaca buku
Social Learning and Imitation karya Miller dan Dollard (1941).
PENJELASAN AWAL TENTANG BELAJAR OBSERVASIONAL
1.
Penjelasan Thorndike dan Watson
tentang Belajar Observasional
Edward L.Thorndike yang pertama kali berusaha meneliti
belajar observasional secara eksperimental. Pada 1898, dia meletakkan seekor
kucing dalam kotak teka teki dan kucing lainnya di sangkar yang ada di
dekatnya. Kucing di kotak teka teki itu sudah belajar cara keluar dari kotak,
sehingga kucing kedua hanya perlu mengamati kucing pertama untuk belajar
respons membebaskan diri. Akan tetapi, ketika Thorndike meletakkan kucing kedua
itu di kotak teka teki, kucing itu tidak memberikan respons membebaskan diri.
Kucing kedua itu harus melakukan proses uji coba yang sama dengan kucing
pertama untuk keluar dari kotak teka teki. Thorndike melakukan percobaan serupa
dengan subyek ayam, anjing dan monyet, dengan hasil yang sama. Thorndike
menyimpulkan bahwa, “Dalam eksperimen saya dengan hewan-hewan, tampaknya tidak
ada yang mendukung hipotesis bahwa mereka memiliki kemampuan untuk belajar
melakukan sesuatu setelah melihat hewan lain melakukan sesuatu”.
Pada 1908, J.B. Watson mereplikasi riset Thorndike
dengan monyet, dia juga tidak menemukan bukti adanya belajar observasional.
Thorndike dan Watson sama-sama menyimpulkan bahwa belajar hanya berasal dari
direct experience (pengalaman langsung) dan bukan dari vicarious experience
(pengalaman tak langsung atau pengganti). Dengan kata lain, mereka menganggap
belajar terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungan dan
bukan dari hasil pengamatan terhadap interaksi orang lain.
2. Penjelasan
Miller dan Dollard tentang Belajar Observasional
Seperti Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard
berusaha menentang penjelasan nativistik tentang belajar observasional. Akan
tetapi berbeda dengan Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard tidak menyangkal
fakta bahwa organisme bisa belajar dengan mengamati aktivitas organisme lain.
Menurut Miller dan Dollard, jika imitative behavior (perilaku imitatif)
diperkuat, ia akan diperkuat seperti jenis perilaku lainnya. Jadi menurut
Miller dan Dollard, belajar imitatif adalah kasus khusus dari pengkondisian
instrumental.
Miller dan Dollard (1941) membagi perilaku imitatif ke
dalam tiga kategori:
1. Same
behavior (perilaku sama)
Terjadi ketika dua atau lebih individu merespon situasi
yang sama dengan cara yang sama, misalnya: kebanyakan orang berhenti di lampu
merah, bertepuk tangan saat suatu konser berakhir, dan tertawa saat orang lain
tertawa.
2. Copying
behavior (perilaku meniru atau menyalin)
Adalah melakukan perilaku sesuai dengan perilaku orang
lain, misalnya: ketika instruktur member bimbingan dan tanggapan korektif
terhadap siswa kelas seni yang sedang berusaha menggambar.
3.
Matched-dependent behavior (perilaku yang tergantung pada kesesuaian)
Seorang pengamat diperkuat untuk mengulang begitu saja
tindakan dari seorang model.
Menurut Miller dan Dollard, imitasi itu bisa menjadi
kebiasaan. Miller dan Dollard menyebut tendensi untuk meniru perilaku sebagai
generalized imitation (imitasi atau peniruan yang digeneralisasikan). Menurut
Miller dan Dollard (1941), dalam belajar imitatif peran model adalah memandu
respon pengamat sampai respon yang tepat diberikan atau untuk menunjukkan
kepada pengamat respon mana yang akan diperkuat dalam situasi tertentu.
PENJELASAN BANDURA TENTANG BELAJAR OBSERVASIONAL
Menurut Bandura, imitasi dan belajar observasional
memiliki perbedaan pengertian. Menurut Bandura, belajar observasional mungkin
menggunakan imitasi atau mungkin juga tidak. Menurut Bandura, apa yang Anda
pelajari adalah informasi, yang diproses secara kognitif dan Anda bertindak
berdasarkan informasi ini demi kebaikan diri Anda. Jadi, belajar observasional
lebih kompleks ketimbang imitasi sederhana, yang biyasanya hanya berupa
menirukan tindakan orang lain.
Teori belajar yang paling mirip dengan teori Bandura
adalah teorinya Tolman. Meskipun Tolman dan Bandura adalah seorang behavioris
tetapi keduanya menggunakan konsep mental untuk menjelaskan fenomena perilaku.
Tolman dan Bandura juga percaya bahwa belajar adalah proses konstan yang tidak
membutuhkan penguatan. Baik teori Tolman maupun Bandura bersifat kognitif, dan
keduanya bukan reinforcement theories ( teori penguatan). Walaupun Tolman
percaya bahwa belajar adalah konstan, dia percaya bahwa informasi yang didapat
lewat belajar hanya akan ditindaklanjuti jika ada alasan untuk melakukannya,
seperti ketika muncul kebutuhan.
KONSEP TEORETIS UTAMA
1.Proses Atensional
Sebelum sesuatu dapat dipelajari dari model, model itu
harus diperhatikan. Bandura menganggap belajar adalah proses yang terus
berlangsung, tetapi dia menunjukkan bahwa hanya yang diamati sajalah yang dapat
dipelajari.
2. Proses Retensional
Agar informasi yang sudah diperoleh dari observasi bisa
berguna, informasi itu harus diingat atau disimpan. Bandura berpendapat bahwa
ada retentional process (proses retensional) dimana informasi disimpan secara
simbolis melalui dua cara, secara imajinal (imajinatif) dan secara verbal.
3. Proses Pembentukan Perilaku
Behavioral production process (proses pembentukan
perilaku) menentukan sejauh mana hal-hal yang telah dipelajari akan
diterjemahkan ke dalam tindakan atau performa. Seseorang mungkin mempelajari
sesuatu secara kognitif namun dia tidak mampu menerjemahkan informasi itu ke
dalam perilaku karena ada keterbatasan, misalnya: perangkat gerak otot yang
dibutuhkan untuk respon tertentu tidak tersedia atau karena orang belum dewasa,
cedera, atau sakit parah.
4. Proses Motivasional
Dalam teori Bandura, pengamatan memiliki dua fungsi
utama. Pertama, ia menciptakan ekspetasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka
bertindak seperti model yang dilihatnya diperkuat untuk aktivitas tertentu,
maka mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai insentif untuk
menerjemahkan belajar ke kinerja. Apa yang dipelajari melalui observasi akan
tetap tersimpan sampai si pengamat itu punya alasan untuk menggunakan informasi
itu. Kedua fungsi penguatan itu adalah fungsi informasional. Satu fungsi
menimbulkan ekspetasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak dengan
cara tertentu dalam situasi tertentu, mereka mungkin akan diperkuat. Fungsi
lainnya, motivational processes (proses motivasional) menyediakan motif untuk
menggunakan apa-apa yang telah dipelajari.
PROSES KOGNITIF YANG SALAH
Bandura menganggap penting proses kognitif dalam penentuan
perilaku manusia. Karena perilaku seseorang sebagian ditentukan oleh proses
kognitifnya, maka jika proses kognitif tidak akurat dalam merefleksikan
realitas akan mungkin muncul perilaku yang salah (maladaptif). Bandura memberi
beberapa sebab munculnya faulty cognitive processes (proses kognitif yang
salah). Pertama, anak mungkin mengembangkan kepercayaan salah karena mereka
cenderung mengevaluasi segala sesuatu berdasarkan penampilan. Kedua, kesalahan
dalam pemikiran terjadi ketika informasi diambil dari bukti yang kurang cukup.
APLIKASI PRAKTIS DARI BELAJAR
OBSERVASIONAL
Apa yang Didapat dari Modeling
Modeling memberi beberapa efek bagi pengamat. Respons
baru mungkin muncul setelah menyaksikan seorang model diperkuat setelah
melakukan tindakan tertentu. Jadi aquisition (akuisisi) perilaku berasal dari
penguatan tak langsung. Sebuah respon mungkin tak muncul ketika melihat seorang
model dihukum karena memberikan respon tersebut. Dengan demikian, hasil yang
terhalangi tersebut merupakan akibat
daripada hukuman tersebut. Reduksi rasa takut yang berasal dari pengamatan atas
tindakan model dalam aktivitas yang ditakuti itu dinamakan disinhibition
(disinhibisi). Model meningkatkann kemungkinan si pengamat akan melakukan
respon yang sama. Ini dinamakn facilitation (fasilitasi). Modeling juga dapat
menstimulasi ctreativity (kreativitas) dengan cara menunjukan kepada pengamat
beberapa model yang menyebabkan pengamat mengadopsi kombinasi berbagai
karakteristik atau gaya.Modeling abstrak mengandung tiga komponen : (1)
Mengamati berbagai macam situasi yang memilki kaidah atau prinsip sama. (2)
mengambil inti sari kaidah atau prinsip dari berbagai pengalaman yang berbeda.
(3) menggunakan kaidah atau prinsip itu dalam situai yang barudan berbeda.
Modeling Dalam Setting Klinis
Menurut Bandura, psikopatologi berasal dari belajar
disfungsional, yang menyebabkan antisipasi yang keliru terhadap dunia. Tugas
psikoterapi adalah memberi pengalaman yang akan menyangkal ekspetasi yang salah
itu dan menggantinya dengan ekspetasi yang benar. Bandura dan rekan-rekannya
melakukan sejumlah studi untuk menguji ekfektivitas modeling dalam mengatasi
beberapa gangguan psikologis. Misalnya, Bandura, Grusec, dan Menlove (1967)
menunjukkan kepada anak yang sangat takut pada anjing bagaimana seorang anak
lain berinteraksi tanpa rasa takut dengan anjing kemudian tali ikatan anjing itu dikendurkan secara bertahap dan
interaksi langusng antara model dengan si anjing dibuat bervariasi. Satu
kelompok control yang terdiri dari anak yang juga fobia anjing tidak diberi
pengalaman modeling. kemudian perilaku semua anak itu dalam berhubungan anjing
dalam eksperimen dan dengan anjing lain yang asing.
PENGARUH BERITA DAN MEDIA HIBURAN
Bandura menyatakan bahwa seseorang dapat belajar dari
pengalaman tak langsung atau pengalaman pengganti dan belajar dengan mengamati
konsekuensi dari perilakunya sendiri. Bandura mendefenisikan model sebagai
segala sesuatu yang menyampaikan informasi. Jadi koran, majalah, televisi, dan
sebagainya merupakan model. Dan tentu saja berita dan hiburan yang disampaikan
dapat membawa pengaruh positif maupun dapat memunculkan proses kognitif yang
salah pada individu.
Bandura menyatakan bahwa anak-anak dan orang dewasa
mendapatkan sikap, emosi tanggapan, dan gaya baru yang melakukan melalui
televisi modeling dan film. Bandura memberi contoh bagaimana tayangan di
televisi dapat memicu perilaku antisosial, misalnya terjadinya pemerasan dengan
strategi yang sama dengan yang ada dalam sebuah film yang baru saja
ditayangkan. Bandura menolak kejadian itu hanya kebetulan belaka. Secara umum,
Bandura menarik kesimpulan tentang acara di televisi bahwa tindakan kekerasan
digambarkan sebagai tindak yang diperbolehkan, sukses, dan relatif tidak kotor.
Melihat kekerasan yang disajikan secara dramatis akan menyebabkan orang makin
terbiasa dan bahkan mendukung kekerasan daripada mencari solusi alternatif.
Namun yang juga perlu diketahui, tidak semua orang yang menonton kekerasan di
televisi akan melakukan aksi kekerasan. Dan juga tidak ada orang yang menonton
tayangan yang eksplisit secara seksual akan menjadi orang yang kecanduan seks.
Materi erotis telah dipakai untuk mengatasi individu yang mengalami gangguan
seksual.
PENDAPAT BANDURA TENTANG PENDIDIKAN
sebagian besar guru memiliki kriteria tersebut sehingga
dapat menjadi model yang berpengaruh besar. Guru dapat menjadi model untuk
suatu keahlian, strategi pemecahan masalah, kode moral, standar performa,
aturan dan prinsip umum, dan kreativitas. Guru juga dapat menjadi model
tindakan, yang akan diinternalisasi siswa dan karenanya menjadi standar
evaluasi diri. Bandura juga menyatakan bahwa penguatan intrinsik lebih penting
daripada penguatan ekstrinsik. Penguatan ekstrinsik dianggap justru bisa
mereduksi motivasi belajar siswa.Proses belajar observasional diatur oleh empat
variabel yang harus diperhatikan oleh guru. Proses yang pertama yaitu
atensional (perhatian), dimana siswa harus menaruh perhatian terhadap sesuatu
yang menurutnya menarik, popular, kompeten, atau dikagumi, dan proses itu akan
bervariasi seiring dengan pendewasaan dan pengalaman belajar sebelumnya. Yang
kedua yaitu retensi, agar dapat meniru perilaku suatu model siswa harus mengingat perilaku itu. Pada fase
retensi ini, latihan sangat membantu siswa untuk mengingat elemen-elemen perilaku
yang dikehendaki. Yang ketiga produksi, suatu proses pembelajaran dengan
memberikan latihan-latihan agar membantu siswa lancer dan ahli dalam menguasai
materi pelajaran. Yang terakhir yaitu motivasi. Suatu cara agar dapat mendorong
kinerja dan mempertahankan tetap dilakukannya keterampilan yang baru diperoleh
dengan memberikan penguatan.
KONTRIBUSI
Bandura memperlihatkan bahwa kita belajar dengan
mengamati orang lain dan bahwa belajar ini dapat terjadi dengan maupun tanpa
imitasi dan tanpa penguatan. Kontribusi kedua adalah interaksi tiga arah yang
ditunjukkan dalam gagasannya tentang determinisme resiprokal. Determinisme
resiprokal menyatakan bahwa perilaku adalah produk dari orang dan lingkungan
dan juga mempengaruhi orang dan lingkungan, dan karenanya menggeser perspektif
kita dari fokus perilaku per se ke hubungan dinamis antara orang, lingkungan,
dan perilaku.
KRITIK
Prinsip determinisme resiprokal mendapat kritikan dari
Philips dan Orton (1983). Mereka menunjukkan bahwa interaksi sistematis bukan
soal baru dan mungkin sudah ada dalam tulisan filsafat dan ilmiah di abad
ke-19. Mereka juga berpendapat bahwa meski Bandura sianggap determinis, prinsip
determinisme resiprokal menolak analisis kausal standar. Artinya, jika perilaku
menyebabkan perubahan pada orang, sementara orang itu menyebabkan perubahan
pada perilaku, sementara lingkungan menyebabkan perubahan dalam perilaku dan
orang, dan seterusnya, maka tugas menemukan apa penyebab sesungguhnya menjadi
mustahil.
BAB 16
PENUTUP
TREN TERBARU DALAM TEORI POLITIK
1.
Teori belajar saat ini lebih sederhana
cakupannya.
2. Ada
penekanan pada neurofisiologi belajar
3. Proses
kognitif seperti pembentukan konsep, pengambilan resiko, dan pemecahan masalah
kembali menjadi topik studi yang populer
4. Ada
peningkatan perhatian terhadap aplikasi prinsip belajar untuk solusi problem
praktis.
1.
Bagaimana belajar bervariasi sebagai
fungsi pendewasaan ?
2.
Apakah belajar bergantung pada
penguatan?
3.
Bagaimana belajar bervariasi sebagai
fungsi spesies?
4.
Dapatkah beberapa aosiasi dipelajari
dengan lebih mudah ketimbang lainnya?
5.
Bagaimana perilaku yang dipelajari
berinteraksi dengan perilaku instingtif ?
6.
Bagaimana belajar bervariasi sebagai
fungsi dari karakteristik personalitas?
7.
Sejauh mana belajar adalah fungsi dari
lingkungan keseluruhan ?
8.
Bagaimana semua pertanyaan diatas
berhubungan dengan tipe belajar?
BELUM ADA JAWABAN FINAL TENTANG
PROSES BELAJAR
Tetapi fakta
itu tidak perlu membuat mahasiswa patah asa, sebab dalam sains tidak pernah ada
jawaban final. Pengetahuan terus berkembang dan evolusi akan bergantung pada
variasi. Dalam menentukan perilaku manusia, tidak ada proses yang paling
penting ketimbang belajar.