Minggu, 16 Maret 2014

Theories of Learning, 7th edition




Judul buku : Theories of Learning, &th edition
Penulis      : B. R. Hergenhahn, Matthew H. Olson


BAB 1

APA ITU BELAJAR ? 






B
elajar (learning) adalah salah satu topik paling penting di dalam psikologi, namun konsepnya sulit untuk didefinisikan. American Heritage Dictionary mendifinisikan sebagai berikut:” To gain knowlegde,comprehension,or mastery through experience or study” [untuk mendapatkan pengetahuan,pemahaman,atau penguasaan melalui pengalaman atau studi]. Namun kebanyakan psikologi menganggap psikologi menganggap definisi ini tidak bisa diterima sebab ada istilah samar didalamnya, seperti pengetahuan,pemahaman,dan penguasaan. Sepanjang beberapa tahun belakangan ini ada kecenderungan untuk menerima definisi belajar yang merujuk pada perubahan dalam perilaku yang dapat diamati. Salah satu definisi yang paling populer adalah definisi yang dikemukakan oleh Kimble (1961,h.6),yang mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif permanen di dalam behavioral pontentiality (potensi behavioral) yang terjadi sebagai akibat dari reinforced practice (praktik yang diperkuat). Meskipun cukup populer, definisi ini tidak diterima secara universal. Sebelum membahas ketidaksepakatan terhadap definisi Kimble ini, mari kita telaah sedikit lebih dalam terlebih dahulu.
Pertama, belajar diukur berdasarkan perubahan dalam perilaku, dengan kata lai, hasil dari belajar harus selalu diterjemahkan ke dalam perilaku atau tindakan yang dapat diamati. Setelah menjalani peroses belajar, pembelajar (learner) akan mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan sebelum mereka belajar. Kedua,perubahan behavioral ini relatif permanen; artinya, hanya sementara dan tidak menetap. Ketiga, perubahan perilaku itu tidak selalu terjadi secara langsung setelah proses belajar selesai. Kendati ada potensi untuk bertindak secara berbeda, potensi untuk bertindak ini mungkin tidak akan diterjemahkan ke dalam bentuk perilaku secara langsung. Keempat, perubahan perilaku (atau potensi behavioral) berasal dari pengalaman atau praktik (latihan). Kelima, pengalaman, atau praktik, harus diperkuat; artinya, hanya respons-respons yang menyebabkan penguatanlah yang akan dipelajari. Meskipun istilah imbalan (reward) dan penguatan (reinforcement) kerap dianggap sama, namun setidaknya ada dua alasan mengapa anggapan itu kurang tepat. Dalam karya Pavlov, misalnya, suatu penguat (reinforcer) didefinisikan sebagai unconditioned stimulus, yakni setiap stimulus yang menimbulkan reaksi alamiah dan otomatis dari suatu organisme. Dalam riset Pavlovian, stimuli seperti larutan larutan asam atau setrum listrik tak jarang dipakai sebagai unconditioned stimuli. Stimuli ini bisa disebut sebagai penguat, namun sulit untuk dianggap sebagai imbalan, jika imbalan itu dianggap sebagai sesuatu yang diinginkan. Penganut Skinnerian juga tidak mau menyamakan penguat dengan imbalan. Menurut mereka, penguat akan memperkuat setiap perilaku yang secara langsung mendahului kejadian penguat. Sebaliknya, imbalan biasanya dianggap sebagai sesuatu yang diberikan atau diterima hanya untuk tindakan yang dianggap diinginkan oleh masyarakat.

APAKAH BELAJAR PASTI MENGHASILKAN PERUBAHAN PERILAKU?
Psikologi telah menjadi ilmu behavioral dengan segala kelebihan dan kekuranganny. Sebuah ilmu pengetahuan atau sains membutuhkan pokok persoalan yang dapat diamati, dapat diukur, dan dalam ilmu psikologi, pokok persoalan itu adalah perilaku. Jadi, apapun yang kita pelajari dalam psikologi harus diekspresikan melalui perilaku, tetapi ini bukan berati bahwa belajar adalah sebuah perilaku. Sehingga kita bisa mengambil kesimpulan mengenai proses yang diyakini merupakan sebab dari perubahan perilaku yang kita lihat. Dalam kasus ini, proses itu dinamakan belajar. Kebanyakan teori belajar yang dibahas di buku ini sepakat bahwa proses belajar tidak bisa dipelajari secara langsung; hakikat dari belajar hanya dapat disimpulkan dari perubahan perilaku. B. F. Skinner adalah satu-satunya teoritisi yang berbeda pendapat dalam hal ini. Menurutnya, perubahan perilaku merupakan proses belajar itu sendiri dan tak perlu lagi ada proses lain yang harus disimpulkan. Tepritisi lain mengatakan bahwa perubahan perilaku berasal dari proses belajar.
Jadi, kecuali penganut Skinnerian, kebanyakan teoritisi belajar memandang belajar sebagai sebuah proses yang memperantarai perilaku. Menurut mereka, belajar adalah sesuatu yang terjadi sebagai hasil atau akibat dari pengalaman dan mendahului perubahan perilaku. Dalam kerangka definisi ini, belajar ditempatkan sebagai variabel pngintervensi (intervening) atau variabel perantara.  Variabel perantar ini adalah proses teoritis yang diasumsikan terjadi di antara timuli dan respons yang diamati. Variabel independen (variabel bebas) menyebabkan perubahan dalam variabel perantara (proses belajar), yang pada gilirannya akan menimbulkan perubahan dalam variabel dependen (variabel terikat) (perilaku).


SEBERAPA PERMANENKAH RELATIF PERMANEN  ITU?
 
            Disini kita mendapati setidaknya dua macam problem. Pertama, seberapa lamakah perubahan perilaku harus bertahan sebelum kita mengatakan bahwa proses belajar telah kelihatan hasilnya? Aspek ini pada awalnya dimasukan dalam definisi di atas untuk membedakan antara belajar dengan kejadian lain yang mungkin mengubah perilaku, seperti keletihan,sakit, pendewasaan, dan narkoba. Jelas, kejadian ini efeknya mungkin akan datang dan pergi dengan cepat, tetapi hasil dari belajar akan terus menetap sampai ia dilupakan atau muncul hasil belajar baru yang menggantikan hasil belajar yang lama. Jadi, keadaan temporer dan proses belajar akan memodifikasi perilaku, tetapi lewat beljar itulah modifikasi tersebut akan relatif lebih permanen. Namun, durasi modifikasi yang muncul dari belajar  atau keadaan tubuh yang temporeritu tidak bisa ditentukan secara pasti.
Ada problem lain yang masih terkait yaitu short-term memory (memori jangka pendek). Sejumlah psikolog menemukan bahwa jika informasi yang asing, seperti kata-kata yang tak bisa dipahami, diberikan kepada seseorang dalam suatu percobaan dimana informasi itu tidak diulang-ulang, orang itu akan mengingat kata-kata itu secara hampir sempurna selama sekitar tiga detik saja. Tetapi dalam waktu 15 detik selanjutnya, ingatan mereka turun hingga hampir ketitik nol atau lupasma sekali (Murdock, 1961; Peterson & peterson, 1959).
Penerimaan kualifikasi “relatif permanen” dalam definisi belajar juga akan menentukan apakah proses sensitization (sensitisasi) dan habituation (habituasi) diterima sebgai contoh belajar. Sensitisasi adalah proses dimana suatu organisme menjadi lebih reponsif terhadap aspek tertentu dari lingkungannya. Misal, suatu organisme yang biasanya mungkin tidak merespons cahaya atau suara tertentu mungkin akan menjadi meresponsnya setelah menerima suatu kejutan (shock). Habituasi adalah proses dimana suatu organisme menjadi kurang responsif pada lingkungannya. Misalnya, ada tendensi bagi suatu organisme untuk memerhatikan stimuli atau rangsangan baru yang terjadi dari lingkungannya. Tendensi ini disebut sebgai refleks yang terarah. Contohnya, adalah ketika anjing menengok ke sumber suara yang tiba-tiba terjadi. Tetapi setelah memerhatikan suara itu, anjing itu pada akhirnya akan mengabaikan suara tersebut (dengan asumsi bahwa suara itu tidaak memberi ancaman) dan tidak peduli lagi.

Belajar dan Performa?Tindakan

                 Hal-hal yang dipelajari tidak akan langsung dimanfaatkan. Atlet misalnya, mungkin belajar posisi tertentu dengan melihat film dan mendengarkan penjelasan pelatih selama seminggu, namun mereka mungkin tidak menerjemahkan proses belajar itu kedalam perilaku sampai tiba waktu pertandingan. Jadi, disini kita mengatakan bahwa potensi untuk bertindak secara berbeda adalah berasal dari belajar, meskipun perilakunya mungkin tidak dipengaruhi dengan segera.

Mengapa kita Mengacu pada Praktik atau Pengalaman?

              Jelas bahwa tak semua perilaku dipelajari. Perilaku yang lebih sederhana adalah hasil dari refleks. Sebuah refleks dapat didefinisikan sebagai respons yang tak dipelajari lebih dahulu atau respons pembawaan internal dalam rangka bereaksi terhadap sekelompok stimuli tertentu. Perilaku yang kompleks juga bisa merupakan karakteristik bawaan. Jika pola perilaku yang kompleks adalah warisan genetis, maka perilaku itu akan disebut sebgai contoh dari instinct (naluri). Karena istilah instinct ditawarkan sebagai penjelasan mengenai perilaku, kini kita cenderung menggunakan istilah perilaku spesies-spesifik (Hinde & Tinbergen, 1958) karena istilah itu lebih bersifat deskriptif. Perilaku ini adalah pola perilaku yang kompleks yang tak dipelajari lebuh dahulu dan relatif tidak bisa dimodifikasi yang dilakukan oleh binatang spesies tertentu dalam situasi tertentu.

Apakah Belajar berasal dari jenis pengalam Spesifik?

Menurut definisi Kimble (1961), belajar berasaldari praktik yang diperkuat. Dengan kata lain, hanya perilaku yang diperkuat yang akan dipelajari. Pada poin ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ahli teori belajar. Para teoritis ini tidak hanya berbeda pendapaaat mengenai apa yang merupakan pengautan tetapi juga mengenai apakah penguatan adalah prasyarat yang harus ada agar terjadi proses belajar.

Definisi Belajar Yang Dimodifikasi

              Untuk merevisi definisi belajar dari Kimble sehingga definisi ini lebih netral dalam kaitanya dengan aspek penguatan, dan karenanya bisa diterima lebih luas. Belajar adalah perubahan perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa dinisbahkan ke temporary body state (keadaan tubuh temporer) seperti keadaan yang disebabkan oleh skait, keletihan atau obat-obatan.

PERBEDAAN JENIS-JENIS BELAJAR

Pengondisian klasik

1.        Sebuah stimulus, seperti makanan, disajikan kepada suatu organisme dan akan menyebabkan reaksi natural dan otomatis, seperti keluarnya air liur. Reaksi natural ini dinamakan unconditioned stimulus (US) dan reaksi otomatis dinamakan unconditioned response (UR).
2.      Suatu stimulus netral (stimulus yang tidak menimbulkan UR), seperti suara atau cahaya, disajikan kepada organisme itu tepat sebelum penyajian makanan US(makanan). Stimulus netral ini dinamakan conditioned stimulus (CS) stimulus bersyarat atau terkondisikan .
3.      Setelah CS dan US dipasangkan beberapa kali, dengan CS selalu mendahului US, kemudian disajikan CS saja, dan organisme itu akan mengeluarkan air liur. Respons air liur ini yang sama dengan respons organisme tersebut terhadap US, kini terjadi saat merespons CS, yakni suara atau cahaya.

Pengondisian Instrumental

              Hubungan antara penguatan dan perilaku organisme akan sangat berbeda dalam pengondisian instrumental. Dalam pengondisian instrumental, organisme harus bertindak dengan cara tertentu sebelum perilaku diperkuat; yakni jika binatang tidak melakukan tindakan yang diharapkan, penguatan tidak terjadi.


BELAJAR DAN SURVIVAL

              Organisme juga tidak bisa bertahan hidup lama jika ia tidak belajar tentang objek mana di dalam lingkungan yang berbahaya dan mana yang aman. Proses belajar ini juga memungkinkan organisme menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Nilai adaptif dari pengondisian klasik ditunjukan pula oleh fakta bahwa ia biasanya membutuhkan beberapa pasangan antara CS dan US sebelum pengondisian klasik terjadi.

UNTUK APA MENGKAJI PROSES BELAJAR?

              Karena kebanyakan perilaku manusia itu terbentuk melalui proses belajar, penelitian atas prinsip-prinsip belajar akan membantu kita memahami mengapa kita berperilaku seperti yang kita lakukan sekarang. Pemahaman tentang proses belajar akan menambah pengetahuan kita bukan hanya tentang perilaku normal dan perilaku adaptif tetapi juga situasi yang menimbulkan perilaku maladaptif dan perilaku abnormal. Psikoterapi yang efektif mungkin berasal dari pemahaman semacam ini.

BAB 2
Pendekatan untuk Studitentang Belajar

Saat kita mengkaji belajar, kita mengamati perilaku atau tindakan ,dan berdasarkan pengamatan ini kita menyimpulkan tipe belajar tertentu 
yang telah terjadi atau yang tak terjadi. Sulitnya melakukan pengamatan langsung inilah yang menimbulkan begitu banyak pendekatan studi. Misalnya, beberapa pihak menyatakan bahwa tempat terbaik untuk mengkaji belajar adalah di lapangan bukan dilaboratorium. Metode mempelajari fenomena saat fenomena itu terjadi secara alamiah dinamakan naturalistic observation (observasi naturalistis). Tetapi ada 2 kekurangan utama dalam pendekatan observasi naturalis ini. Pertama, karena situasi kelas sangatlah kompleks maka sulit untuk mengamati dan mencatat dengan akurat. Kedua, ada kecenderungan untuk mengklasifikasi peristiwa ke dalam bagian-bagian yang mungkin terlalu komprehensif; misalnya apa yang diklasifikasi sebagai formasi konsep mungkin dalam kenyataan terdiri dari beberapa fenomena berbeda, dan perbedaan ini akan menghilang dalam proses pengklarifikasi. Klasifikasi yang kelihatannya sederhana mungkin akan menjadi tampak sangat kompleks jika diteliti lebih mendalam.

Aspek-aspek Teori

Dalam dunia pengetahuan ilmiah, empirisme dan rasionalisme menyatu dalam scientific theory (teori ilmiah) (Hergenhahn & Olson, 2003, h.11). teori ini mengandung dua aspek penting. Pertama, sebuah teori memiliki formal aspect (aspek normal), yang mencakup kata dan simbol yang ada didalam teori. Kedua, sebuah teori memiliki empirical aspect (aspek empiris), yang terdiri dari peristiwa-peristiwa fisik yang hendak dijelaskan oleh teori sangat kompleks, perlu dicatat bahwa bagian formal dari teori boleh jadi masuk akal dalam dirinya sendiri meskipun mungkin ia mengandung perkiraan yang salah tentang dunia fisik. Pernyataan “semua proses belajar tergantung pada niat” mungkin masuk akal secara formal tapi tidak menjelaskan secara akurat mengenai proses belajar itu. Scientifict law (kaidah ilmiah) dapat didefinisikan sebagai hubungan yang konsisten antara dua atau lebih kelompok kejadian yang terlihat. Semua ilmu pengetahuan ilmiah berusaha mengungkap kaidah atau hukum tersebut.

Dari Riset Hingga Teori

Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan hukum-hukum, penellitian ilmiah tak cukup hanya dengan mengamati dan mencatat ratusan atau mungkin ribuan hubungan empiris. Ilmuan biasanya berusaha memahami suatu hukum yang mereka temukan; mereka mencoba mengelompokannya secara koheren. Pengelompokan ini (1) syntheizing function, yang berusaha menjelaskan secara sistematis sejumlah besar observasi dan (2) heuristic function, yang menunjukan jalan ke riset selanjutnya.

Teori sebagai Alat

Karena teori hanya alat riset, ia tidak bisa dikatakan salah atau benar, ia bisa dikatakan berguna atau tak berguna. Jika sebuah teori menjelaskan berbagai observasi, dan jika teori memicu riset lanjutan, maka teori itu bagus. Jika gagal dalam satu dari dua hal itu, maka periset mungkin akan melakukan riset lagi untuk menemukan teori baru.

Eksperimen Belajar

Setiap eksperimen melibatkan suatu yang perubahannya diukur, yakni dependent variable (variabel terikat) dan sesuatu yang dikontrol atau dimanipulasi oleh eksperimenter untuk melihat efeknya terhadap variabel terikat itu, yakni independent variable (variabel lepas). Didalam eksperimen yang telah dikemukakan diatas, yakni tingkat kecepatan belajar dan lamanya deprivasi makanan, tingkat belajar inilah yang diukur dan karenanya merupakan variabel terikat.

Keputusan Arbiter dalam Menentukan Eksperimen Belajar
1.        Aspek Apa dari Proses Belajar yang Harus Diteliti?
Seseorang dapat mengkaji tindak belajar dilaboratorium, atau mengamati proses belajar yang terjadi di kelas melalui observasi naturalis.
2.      Teknik Idiografis vs. Nomotetis
Haruskah periset secara intensif mempelajari proses belajar dari satu subjek eksperimental didalam beragam situasi (idiographic technique). Atau mereka harus menggunakan kelompok-kelompok subjek eksperimental dan meneliti performa rata-rata mereka (nomothetic technique).
3.           Subjek Manusia vs. Subjek Hewan Nonmanusia
Jika periset memilih manusia sebagai peserte ekperimental, mereka mesti memikirkan bagaimana hasil riset dari laboratorium bisa digeneralisasikan ke dunia luar. Akan tetapi jika mereka memilih subjek nonmanusia, seperti tikus,monyet, atau burung, mereka juga mesti memikirkan bagaimana menggeneralisasikan proses belajar dari satu spesies ke spesies lainnya.
4.      Teknik Korelasi vs. Teknik Eksperimental
Mengkorelasikan belajar dengan kecerdasan. Karena langkah ini adalah mengkorelasikan satu respons dengan respons lain, hubungan yang dihasilkan disebut hukum R-R (hukum respons-respons).
5.      Variabel Bebas Mana yang Harus Dikaji?
Variabel bebas dalam eksperimen secara otomatis akan muncul. Misal belajar secara operasional didefinisikan sebagai “trials to criterion”, maka inilah yang akan diukur dalam eksperimennya. Kemudian, periset mengajukan pertanyaan “apa variabel yang mungkin mempengaruhi perilaku yang sedang diteliti?”
Contoh :
                 Perbedaan jenis kelamin
Perbedaan usia
Ukuran materi stimulus yang dipakai
Tingkat presentasi
Makna materi yang dipakai
Instruksi
Kecerdasan
Obat-obatan
Interval antar percobaan
Iteraksi dengan tugas-tugas lain


6.      Seberapa Banyak Level Bebas yang Akan Diteliti?
Setelah salah satu variabel bebas terpilih, periset harus menentukan berapa banyak level variabel bebas yang mesti direpresentasikan dalam eksperimen.
7.       Memilih Variabel Bebas
Variabel bebas yang umum dalam eksperimen belajar antara lain :


                 Skor atau nilai tes
                 Trials to extinction
                 Kecepatan lari
                 Tikngkat respons
                 Waktu untuk menemukan stimulus
                 Trials to criterion
                 Latensi
                 Probabilitas respons
                 Jumlah kesalahan
                 Besaran respons

8.      Analitis dan Interprestasi Data
Setelah data dikumpulakan dala satu eksperimen, bagaimana kita menganalisisnya? Meskipun ini diluar cakupan buku ini,namun pembaca harus mengetahui fakta bahwa banyak teknik statistik untuk analisis yang tersedia bagi periset.

PANDANGAN KUHN TENTANG BAGAIMANA ILMU PENGETAHUAN BERUBAH

Mungkin akan menimbulkan kesalahan pemahaman. Dalam buku The Stucture of Scientific Revolutions yang terbiat pada 1973, Thomas Kuhn (1922-1996) menyakikan pandangan yang berbeda mengenai ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn,  ilmuwan yang bekerja dibidang tertentu biasanya menerima sudut pandang tertentu tentang apa-apa yang sedang dipelajari. Misalnya, dahulu kebanyakan ahli fisika menerima sudut pandang Newtonian dalam kajian fisika mereka.

PANDANGAN POPPER TENTANG ILMU PENGETAHUAN

Karl popper (1902-1994) bersikap kritis terhadap pandangan ilmu pengetahuan ini. Menurut Popper (1963), aktivitas keilmuan ilmiah tidak berawal dengan observasi empiris, namun ia berawal dengan adanya problem. Menurut Popper, ide bahwa ilmuwan melakukan berbagai pengamatan empiris dan kemudian berusaha menjelaskan observasi itu adalah gagasan yang keliru. Menurutnya, peroblem akan menentukan observasi mana yang akan dilakukan oleh ilmuwan. Langkah selanjutnya adalah mengajukan solusi persoalan. Teori ilmiah adalah usulan solusi atas problem.

Khun vs. Popper

Menurut Popper, apa yang disebut Kuhn sebagai ilmu normal bukanlah ilmu pengetahuan sama sekali. Menurut Popper, keyakinan subjektif yang menurut Kuhn menghubungkan ilmuwan dengan suatu paradigma akan menghambat pemecahan masalah secara efektif. Dalam analisisnya atas aktivitas keilmuan, Kuhn menekankan faktor sosiologis dan osiokologis, sedang analisis Popper menekankan penolakan logis atas solusi problem yang diusulkan.

BAB 3
GAGASAN AWAL TENTANG BELAJAR

EPISTEMOLOGI DAN TEORI BELAJAR

Epistemology adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan hakikat pengetahuan. Epistomologi mengajukan pertanyaan seperti apa itu pengetahuan? Apa yang kita bisa tahu? Apa batas pengetahuan? Apa arti dari tahu atau mengetahui? Darimana asal pengetahuan?.
Meskipun Plato percaya bahwa pengetahuan itu diwariskan dan Aristoteles percaya bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi, keduanya menunjukkan contoh dari rationalism karena keduanya percaya bahwa pikiran secara aktif terlibat dalam pemotretan pengetahuan.

1.        PLATO

Plato (427-347 SM) adalah murid paling terkenal dari filsuf Socrates. Sebenarnya Socrates tidak pernah menulis apapun tentang filsafatnya-ajarannya ditulis oleh Plato. Ini adalah fakta yang paling signifikan karena dialog Plato awal didesain terutama untuk menunjukkan pendekatan Socratik terhadap pengetahuan dan sebagai kenangan tentang guru besar itu.
Teori Pengetahuan Kenangan
Menurut Plato, setiap objek di dunia fisik memiliki “ide” atau “bentuk” abstrak yang menyebabkannya. Misalnya, ide abstrak untuk kursi berinteraksi dengan materi untuk menghasilkan sesuatu yang kita namakan kursi. Ide pohon berinteraksi dengan materi untuk membentuk apa yang kita namakan pohon. Semua objek fisik memiliki asal-usul semacam itu. Jadi, apa yang kita alami lewat indra adalah kursi, pohon, atau rumah.  Ide murni atau esensi dari berbeda-beda ini eksis secara independen dari materi, dan sesuatu akan hilang ketika diterjemahkan ke dalam materi.

2.      ARISTOTELES

Aristoteles (384-322 SM), salah satu murid Plato, pada awalnya menganut ajaran Plato namun kemudian berbeda pendapat dengannya. Perbedaan dasar antara kedua pemikir itu adalah dalam sikap mereka terhadap informasi indrawi. Bagi Plato informasi indrawi itu adalah halangan dan merupakan sesuatu yang tak bisa dipercaya. Namun, Aristoteles menganggap informasi indrawi adalah basis dari semua pengetahuan. Dengan sikapnya yang mendukung observasi empiris, Aristoteles menyusun banyak fakta tentang fenomena fisik dan biologi. Karena Aristoteles berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman indrawi maka dia disebut sebagai empiris. Aristoteles merumuskan laws of associantion, dia mengatakan bahwa pengalaman atau ingatan akan satu objek cenderung menimbulkan ingatan akan hal-hal yang serupa dengan objek itu. Selain mempopulerkan investigasi empiris, Aristoteles juga memberi beberapa kontribusi bagi psikolog. Dia menulis sejarah psikolog pertama, yang diberi judul De Anima. Dia menulis tentang indra manusia, yang terdiri dari penglihatan,pendengaran, penciuman, rasa, dan sentuhan. Setelah Aristoteles meninggal, surutlah harapan akan adanya perkembangan ilmu pengetahuan empiris.

AWAL PSIKOLOGI MODERN

Rene Descartes (1596-1650) berusaha mengkaji semua filsafat dengan sikap ragu “saya bisa meragukan segalanya” katanya, “kecuali satu hal, yakni fakta bahwa saya itu ragu. Namun ketika saya ragu, saya berfikir, dan saayt saya berfikir, saya pasti ada.”
Thomas Hobbes (1588-1679) menentang gagasan bahwa ide bawaan adalah sumber pengetahuan. Dia berpendapat bahwa kesan indra adalah sumber dari semua pengetahuan. Dengan keyakinan ini, Hobbes membuka kembali filsafat empirisme dan assosiasonisme. Hobbes percaya bahwa stimuli dapat membantu atau menghambat fungsi vital dari tubuh. Stimulus yang membantu pelaksanaan fungsi vital tubuh akan menyebabkan perasaan senang, dan karenanya seseorang akan berusaha mencari kesenangan ini. Menurut Hobbes, perilaku manusia dikontrol oleh “hasrat-keinginan” dan “keengganan”. “ kejadian-kejadian yang dikejar manusia disebut “baik” dan yang menghindari manusia disebut “jahat”. Kelak Jeremy Bentham (1748-1822) mengatakan bahwa perilaku manusia diatur oleh prinsip kesenangan, sebuah gagasan yang diambil oleh Freud dan kemudian oleh para teoritisi penguat.

JohnLock (1632-1704) juga menentang gagasan ide-ide bawaan. Menurutnya pikrian terdiri dari ide, dan ide datang dari pengalaman. Lock adalah seorang empiris, tetapi perhatikan bahwa filsafatnya mengandung unsur rasionalistik. Seperti Galileo, Locke membedakan antara kualitas primer dan sekunder. Kualitas primer adalah karakteristik dunia fisik yang cukup kuat untuk menimbulkan representasi mental yang akurat dipikiran penerima. Kualitas sekunder adalah karakteristik dunia fisik yang terlalu lemah atau terlalu kecil untuk menimbulkan representasi mental yang akurat dalam pikiran penerima.
Dan masih banyak filsuf-filsuf di era modern seperti George Berkeley, David Hume, Immanuel Kant, John Stuart Mill, Thomas reid, Charles Darwin, dll.

MAZHAB PSIKOLOGI AWAL

1.        Voluntarisme
2        Strukturalisme
3       Fungsionalisme
4       Behaviorisme


BAB 4

EDWARD LEE THORNDIKE

Sejarah Teori Belajar Thorndike

     Edward Lee Thorndike ialah seorang fungsionalis. Meski demikian, ia telah membentuk tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard pada tahun 1897. Ketika di sana, Thorndike mengikuti kelasnya Williyams James dan mereka pun menjadi akrab. Thorndike menerima beasiswa di Colombia, dan dapat menyelesaikan gelar PhD-nya tahun 1898. Kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombia sampai pensiun pada tahun 1940.
     Thorndike berhasil menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in Animal”. Buku tersebut merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respon tertentu.
            Teori yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori SR. Dalam teori SR dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme belajar dengan cara coba salah (Trial end error). Apabila suatu organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan tingkah laku yang serentak dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Sebagai contoh; seekor kucing yang dimasukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan kucing pun bisa keluar. Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.

Definisi Teori Belajar Menurut Thordike

       Pada awalnya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh adanya pengaruh dari Thorndike (1874-1949). Teori belajar Thorndike dikenal dengan “Connectionism” (Slavin, 2000). Hal ini terjadi karena menurut pandangan Thorndike bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan / tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
            Teori dari Thorndike dikenal pula dengan sebutan “Trial and error” dalam menilai respon-respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil - hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak - anak dan orang dewasa. Adapun objek penelitian yang dikaji dihadapkan pada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek tersebut melakukan berbagai aktivitas untuk merespon situasi itu.Sebagai contoh yaitu seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kandang yang terkunci, maka kucing tersebut akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan akhirnya kucing pun bisa keluar. Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.

Eksperimen – Eksperimen Thorndike

       Bentuk belajar yang khas pada hewan maupun manusia oleh Thorndike disifatkan sebagai trial and error atau learning by selecting and connecting. Organism ( pelajar, dalam eksperimen dipergunakan hewan juga ). Pada mulanya, model eksperimen Thorndike yaitu dengan mempergunakan kucing sebagai subjek dalam eksperimennya. Eksperimennya yang khas adalah dengan kucing, dipilih yang masih muda yang kebiasaan – kebiasaannya masih belum kaku, dibiarkan lapar, lalu dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut sebagai “problem box”. Dengan konstruksi pintu kurungan yang dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu, maka pintu kurungan akan terbuka dan akhirnya kucing dapat keluar dan mancapai makanan ( daging ) yang ditempatkan di luar kurungan sebagai hadiah atau daya penarik bagi kucing yang lapar tersebut.
      Pada usaha ( trial ) yang pertama kucing itu melakukan bermacam–macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan masalah, misalnya mencakar, menubruk, dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Adapun waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang pertama berlangsung lama. Namun, ketika percobaan tersebut telah dilakukan secara berulang – ulang, maka waktu yang dibutuhkan akan semakin singkat. Thordike menafsirkan bahwa “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia belajar mencamkan ( mempertahankan ) respon – respon yang benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon – respon yang salah.”
      Eksperimen Thorndike tersebut mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf insansi ( human ). Dia yakin bertentangan dengan kepaercayaan umum bahwa tingkah laku hewan sedikit sekali dipimpin oleh pengertian. Dengan hal tersebut memberikan keyakinan kepada Thorndike bahwa hal – hal yang menjadi dasar proses belajar pada hewan dan pada manusia adalah sama saja. 

Ciri – Ciri Belajar Menurut Thorndike
Adapun beberapa ciri – ciri belajat menurut Thorndike, antara lain :
1. Ada motif pendorong aktivitas
2. Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
3. Ada aliminasi respon - respon yang gagal atau salah
4. Ada kemajuan reaksi – reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

Thorndike sebelum 1930 

Pemikiran Thorndike tentang proses belajar dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama adalah pemikiran sebelum tahun 1930 dan kedua adalah pasca 1930.
Hukum - Hukum yang digunakan Edward Lee Thorndike:
Thorndike menyatakan bahwa belajar pada hewan maupun manusia berlangsung berdasarkan tiga macam hukum pokok belajar, yaitu :

 1.Hukum kesiapan ( Law of readiness )
Law of readiness adalah prinsip tambahan yang menggambarkan taraf fisiologis bagi law of effect. Hukum ini menunjukkan keadaan – keadaan dimana pelajar cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidakpuasan, menerima atau menolak sesuatu.
Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu, yaitu :
a. Kalau suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit tersebut akan membawa kepuasan, dan tidak akan ada tindakan – tindakan lagi ( yang lain ) untuk mengubah konduksi itu.
b. Unit konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan menimbulkan ketidakpuasan, dan akan menimbulkan respon – respon yang lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu.
c. Apabila unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksa untuk berkonduksi, maka konduksi itu akan menimbulkan ketidakpuasan dan berakibat dilakukannya tindakan – tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu.
Dalam hal ini Thorndike menggunakan istilah “unit konduksi” sebenarnya tidak mempunyai arti fisiologis yang pasti. Sebab misalnya saja adalah sangat sukar dimengerti bagaimana satu unit fisiologis yang tidak siap berkonduksi dibuat berkonduksi. Karena itu untuk dapat memahami arti hukum tersebut haruslah dilakukan interpretasi. Jika istilah “unit konduksi” diganti dengan “kecenderungan bertindak” maka arti psikologis daripada law of readiness menjadi jelas. Jadi, apabila kecenderungan bertindak itu timbul karena penyesuaian diri atau hubungan dengan sekitar, karena sikap dan sebagainya, maka memenuhi kecenderungan itu di dalam tindakan akan memberikan kepuasan dan tidak memenuhi kecenderungan tersebut akan menimbulkan ketidakpuasan. Jadi, sebenarnya readiness itu adalah persiapan untuk bertindak, ready to act.
Sebagai ilustrasinya, Thorndike menggambarkan sebagai berikut :
a. Hewan mengejar mangsanya, siap untuk menerkam dan memakannya.
b. Seorang anak melihat sesuatu barang yang sangat menarik di kejauhan, siap untuk menghampirinya, memegangnya, dan mempermainkannya.

2. Hukum latihan ( Law of exercise )
Law of exercise mengandung dua hal, yaitu sebagai berikut.
a. Law of use, hubungan – hubungan atau koneksi – koneksi akan menjadi bertambah kuat kalau ada latihan.
b. Law of disuse, hubungan – hubungan atau koneksi – koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan – latihan atau penggunaan dihentikan.
  Persoalan menjadi kuat itu ditentukan oleh meningkatnya kemungkinan bahwa respons akan dilakukan apabila situasi yang demikian itu dihadapi lagi. Kemungkinan ini dalam dua bentuk, yaitu ;
a. Menjadi lebih besarnya kemungkinan kalau situasi atau kejadian segera diulangi.
b. Rendahnya kemungkinan kalau berulangnya kejadian itu berjarak lama.

      Akan tetapi, keterangan tetang kekuatan dengan kemungkinan itu menjadi bahan perbantahan. Pada umumnya, orang di Amerika Serikat menolak dasar structural yang dikemukakan oleh Thorndike mengenai hubungan ( koneksi ) itu, yaitu perubahan – perubahan menjadi lebih kuat atau lebih lemahnya hubungan itu mempunyai dasar neorlogis yang terdapat pada synapsis – synanpsis. Karena keterangan tesebut mengandung kelemahan – kelemahan, maka Thorndike pada akhirnya membuat perubahan – perubahan pada hukum tersebut.

3. Hukum efek ( Lae of effect )
Law of effect menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat daripada hasil respons yang dilakukan. Apabila suatu hubungan atau koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.
Perumusan hukum efek banyak menerima kritikan. Pada pokoknya, ada dua keberatan yang diajukan terhadap hukum efek tersebut, yaitu :

a. Kepuasan dan ketidakpuasan adalah masalah subjektif, jadi tidaklah tepat untuk menggambarkan tingkah laku hewan. 
b. Pengaruh ( effect ) daripada apa yang dialami atau terjadi di masa lampau yamg dirasakan kini tidak dapat diterima, sebab apa yang lampau adalah sudah lampau dan pengaruhnya tidak dapat dirasakan.

Perumusan Thorndike banyak mengandung kelemahan – kelamahan. Jika dikatakan dengan sederhana yang dimaksud Thorndike adalah : Hadiah atau sukses akan berakibat dilanjutkannya atau diulanginya perbuatan yang membawa hadiah atau sukses itu, sedang hukuman atau kegagalan akan mengurangi kecenderungan untuk mempertahankan atau mengulangi tingkah laku yang membawa hukuman atau kegagalan itu.
       Selain hukum pokok belajar tersebut di atas, masih terdapat hukum subside atau hukum – hukum minor, yaitu :

a. Law of multiple response
Supaya sesuatu respons itu memperoleh hadiah atau berhasil, maka respons itu harus terjadi. Apabila individu dihadapkan pada sesuatu soal, maka dia akan mencoba – coba berbagai cara; apabila tingkah laku yang tepat ( yakni yang membawa penyelesaian atau berhasil ) dilakukan maka sukses terjadi, dan proses belajar pun terjadi. Hal tersebut akan berlaku sebaliknya.
b. Law of attitude ( law of set, law odf disposition )
Respons – respons apa yang dilakukan oleh individu itu ditentukan oleh cara penyelesaian individu yang khas dalam menghadapi lingkungan kebudayaan tertentu. Sikap ( attitude ) tidak hanya menentukan apa yang akan dikerjakan oleh seseorang tetapi juga cara yang kiranya akan memuaskan atau tidak memuaskan baginya.
c. Law of partial activity ( law of prepotency element )
Pelajar atau organism dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan – kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Manusia dapat memilih hal – hal yang pokok dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal – hal yang pokok itu serta meninggalkan hal – hal yang berkecil – kecil.
d. Law of response by analogy ( law of assimilation )
Orang bereaksi terhadap situasi yang baru sebagaimana dia bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan itu yang dihadapinya di waktu yang lalu, atau dia bereaksi terhadap hal atau unsur tertentu dalam situasi yang telah berulang kali dihadapinya. Jadi, respons – respons selalu dapat diterangkan dengan apa yang telah pernah dikenalnya, dengan kecenderungan asli yang berespons.
e. Law of assosiative shifting
Apabila suatu respons dapat dipertahankan berlaku dalam serangkaian perubahan – perubahan bahan dalam situasi yang merangsang, maka respons itu akhirnya dapat diberikan kepada situasi yang sama sekali baru.

Thorndike Pasca 1930

Teori Thorndike masih tetap ada sampai tahun 1930. Namun, dengan berkembang dan munculnya aliran – aliran yang lain, maka mulailah bermunculan kritik mengenai teori yang telah dikemukakan oleh Thorndike. Para ahli mengemukakan bahwa teori Thorndike tidak seluruhnya benar, terutama dengan berbagai eksperimennya yang menunjukkan adanya kelemahan tentang teori tersebut.
Adapun revisi hukum – hukum dasarnya dituliskan dalam berbagai majalah, yang hasil – hasil pokoknya dituliskan dalam dua buah buku, yaitu :

1. The fundamentals of learning ( 1935 ), dan
2. The psychology of wants, interest and attitudes ( 1935 ).

Berikut adalah revisi pendapat yang dikemukakan, yaitu :

1. Law of readiness (hukum kesiapan) boleh dikata tak diubah sama sekali.
2. Law of exercise (hukum latihan atau penggunaan) praktis diubah sama sekali.

      Ketidakbenaran atau ketidakpastian law of exercise ditunjukkan dengan eksperimen. Adapun eksperimen yang menunjukkan kelemahan yaitu “ulangan yang berlangsung dalam keadaan di mana law of effect itu tidak bekerja.” Misalnya : berulang – ulang membuat garis yang panjangnya 10 cm tanpa mengetahui garis yang dibuatnya itu terlalu pendek atau terlalu panjang.
      Jadi, ulangan itu an sich tidaklah menghasilkan apa – apa; ulangan hanya membawa hasil kalau ada faktor lain yang bekerja yang menyebabkan ulangan itu efektif ( berhasil ). Misalnya dalam contoh di atas : jika sekiranya subjek tahu garis yang telah dibuatnya itu terlalu panjang atau terlalu pendek, maka tentulah usaha yang berikutnya akan lebih berhasil ( lebih baik hasilnya ).

3. Perubahan law of effect (hukum efek)
Sejumlah eksperimen menunjukkan bahwa pengaruh ( effect ) hadiah dan hukuman tidak bertentangan lurus seperti apa yang dikemukakan lebih dahulu, yaitu pengaruh hadiah memuaskan dan pengaruh hukuman tidak memuaskan, serta besarnya kepuasan dan ketidakpuasan itu sama atau sebanding, tetapi ternyata bahwa dalam keadaan di mana aksi simetris mungkin dilakukan hadiah nampaknya lebih kuat pengaruhnya daripada hukuman.Salah satu eksperimen mengenai ini ialah dengan ayam. Suatu labirin yang sederhana dengan dua jalan pilihan, yaitu :
1). Pilihan pertama menuju ke kebebasan, dan berkumpul dengan teman–temannya serta mendapatkan makanan ( hadiah ).
2). Pilihan kedua kembali kekurangan lagi ( hukuman ).
Dengan statistic diperhitungkan kecenderungan untuk mngulangi pilihan yang membawa dhadiah dan menghindari pilihan yang memberikan hukuman. 

4. Belongingness
Thorndike mengamati bahwa dalam proses belajar asosiasi ada faktor selain kontinguitas dan hukum efek. Jika kontinguitas adalah satu- satunya faktor yang memengaruhi, semua urutan kata itu seharusnya dikuasai dan diingat dengan baik. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Rata- rata asosiasi yang benar dari ujung satu kalimat ke awal kalimat berikutnya adalah 2,75; sedangkan rata- rata jumlah asosiasi yang benar antara kombinasi kata pertama dan kedua adalah 21,50. Jelas, ada sesuatu yang beroperasi selain kontiguitas, dan sesuatu itu oleh Thorndike dinamakan belongingness, artinya sifat- sifat suatu item yang dalam kasus ini subyek dan kata kerja yang erat hubungannya dengan atau menjadi bagian integral dari item yang lain.
Dengan konsep belongingness ini, Thorndike berpendapat bahwa jika ada hubungan yang natural antara keadaan yang dibutuhkan organisme dengan efek yang ditimbulkan suatu respon maka proses belajar akan lebih efektif ketimbang jika hubungan itu tidak alamiah.
Maka kita melihat bahwa Thorndike menggunakan konsep belongingness dalam dua cara. Pertama, dia menggunakannya untuk menjelaskan mengapa ketika mempelajari materi verbal seseorang akan cenderung mengorganisasikan apa- apa yang dipelajarinya dalam unit- unit yang dianggap masuk dalam golongan yang sama. Kedua, Thorndike mengatakan bahwa jika efek- efek yang dihasilkan oleh suatu respon yang terkait dengan kebutuhan organisme, proses belajar akan lebih efektif ketimbang efek yang dihasilkan itu tidak terkait dengan kebutuhan organisme.

5. Penyebaran Efek
            Sesudah tahun 1930, Thorndike menambahkan konsep teoritis lainnya, yang disebutnya sebagai spread of effect ( Penyebaran Efek ). Semala eksperimennya, Thorndike secara tak sengaja menemukan bahwa keadaan yang memuaskan tidak hanya menambah probabilitas terulangnya respon yang menghasilkan keadaan yang memuaskan tersebut tetapi juga meningkatkan probabilitas terulangnya respon yang mengitari respons yang memperkuat itu.
Salah asatu eksperimen yang menunjukkan efek ini adalah eksperimen yang menghadirkan sepuluh kata, seperti catnip, debate, dan dazzle, kepada partisipan yang diberi instruksi untuk merespon dengan angka dari 1 sampai 10. Jika partisipan merespon satu angka dengan angka yang sebelumnya yang telah ditentukan oleh eksperimenter, eksperimenter akan berkata “ benar “. Dan jika subyek merespon dengan angka yang berbeda dengan angka yang telah ditetapkan, maka eksperimenter berkata “Salah“.

ILMU PENGETAHUAN DAN NILAI MANUSIA

Thorndike dikritik karena ia mengasumsikan determinisme dalam studi perilaku manusia. Para pengkritik mengatakan bahwa mereduksi perilaku manusia menjadi reaksi otomatis terhadap lingkungan akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Jelas, Thorndike adalah manusia penuh warna yang mengekspresikan opininya tentang berbagai macam topik. Mahasiswa yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Thorndike disarankan membaca The Sane Positivistic: A Biography of Edward L. Thorndike yang ditulis oleh Geraldine Joncich (1968).

PENDIDIKAN MENURUT THORNDIKE

Baru belakangan ini kita menyadari pentingnya definisi tujuan pendidikan secara behavioral. Meskipun tujuh aturan Thorndike (1922) dibawah ini dirumuskan untuk mengajarkan aritmatika,namun aturan ini mewakili saran-sarannya untuk pengajaran pada umumnya:

1.     Perhatikan situasi yang dihadapi murid.
2.    Pertimbangkan respons yang ingin anda kaitkan dengan situasi itu.
3.    Jalinan ikatan; jangan harap jalinan ini berbentuk secara ajaib.
4.   Jika hal-hal lain tak berubah, jangan jalin ikatan yang nanti harus diputuskan lagi.
5.    Jika hal-hal lain tidak berubah, jangan menjalin dua atau tiga ikatan apabila satu saja sudah cukup.
6.   Jika hal-hal lain tak berubah, bentuklah ikatan dengan cara yang membuat mereka mesti bertindak.
7.    Karenanya dukunglah situasi yang ditawarkan oleh kehidupan itu sendiri, dan dukunglah respons yang dituntut oleh kehidupan itu.

EVALUASI TEORI THORNDIKE

1.        Kontribusi
Karta rintisan Thorndike memberi alternatif tersendiri untuk mengkoonseptualkan belajar dan perilaku dan memberi pendekatan yang jauh berbeda dengan pendekatan sebelum dia. Sebelum studi Thorndike, tidak ada pembahasan eksperimental yang sistematis terhadap proses belajar.

2.      Kritik
Walaupun telah ditunjukan bahwa beberapa fenomena yang ditemukan oleh Thorndike, seperti penyebaran efek, misalnya dalah karena akibat dari proses yang bukan diidentifikasinya (Etes, 1969b;Zirkle, 1946), kritik penting terhadap teori Thorndike berfokus pada dua isu utama. Pertama, berkaitan dengan definisi unsur pemuas dalam hukum efek. Yang kedua, juga berkaitan dengan hukumm efek, adalah soal definisi yang terlalu menistik atas teori belajar. Kritik terhadap hukum efek menyatakan bahwa argumen Thorndike bersifat sirkular(berputar-putar).


BAB 8
EDWIN RAY GUTHRIE

Konsep Teoritis Utama

Hukum belajar yang dikemukakan oleh Guthrie adalah hukum kontiguitas (law of contiguity). Maksudnya adalah : “ kombinasi stimuli yang mengiringi gerakan akan cenderung diikuti oleh gerakan itu jika kejadiaannya berulang”. Jadi, jika pada situasi tertentu kita melakukan sesuatu, maka pada waktu lain dan situasinya sama kita akan cenderung melakukan hal yang sama juga.
Hukum tersebut diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan oleh Thorndike dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan bahwa, jika respons menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model kondisional berupa CR-CS-US-UR. Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie berlebihan.
Pada publikasi terahirnya sebelum meninggal, Guthrie sempat merevisi hukum kontiguitasnya menjadi, “apa- apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa- apa yang dilakukan”. Alasannya karena terdapat berbagai macam stimuli yang dihadapi oleh organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk asosiasi dengan semua stimuli itu. Organisme hanya akan memproses secara efektif pada sebagian kecil dari stimuli yang dihadapinya, dan selanjutnya proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respons.

Cara Memutuskan Kebiasaan 

Kebiasaan dalam teori Guthrie ini didefinisikan sebagai sebuah respon yang diasosiasikan dengan beberapa stimuli yang berbeda. Untuk menghentikan kebiasaan yang inappropriate ( tidak sesuai ) maka kebiasaan itu perlu diputus. Untuk itu, perlu memutus pula hubungan antara asosiasi dengan 'cues' yang memunculkan stimuli (rangsangan) dan respons. Ada tiga metode yang ditawarkan oleh Gutrhrie untuk memutuskan kebiasaan yaitu :

1.        Ambang Batas (threshold) Mengenalkan stimuli dengan kekuatan yang lemah. Secara perlahan meningkatkan kekuatan stimuli, tetapi menjaganya dibawah respons batas minimal. Contoh: memasang pelana kuda : mulai dengan selimut yang ringan , kemudian selimut yang lebih berat, baru kemudian pelana kuda.
2.      Metode fatigue (kelelahan) " mengeluarkan " semua respons dalam menghadirkan stimuli. Contoh: melemparkan pelana diatas kuda dan menaiki kuda samapai kuda meringkik, menendang, dan berusaha sekuat tenaga untuk melempar orang yang menaikinya. (joki) : pelana dan joki menjadi stimulus untuk berjalan dan berlari dengan tenang.
3.      Metode respons tandingan (incompatable Respons Methode Memasangkan stimulus (S1) yang menyebaabkan perilaku tidak sesuai (inapropiate) dengan stimulus (S2) yang memunculkan respons-respons yang sesuai (apropiate), perilaku yang sesuai diasosiasikan dengan stimulus (S2). Contoh: untuk menghentikan menghindar dan takut berlebihan, dengan memasangkan ketakutan pada suatu objek ( seperti harimau mainan ) dengan sebuah stimulus yang memunculkan perasaan hangat dan penuh kasih saying., seperti gambar seorang ibu.

Membelokkan Kebiasaan

Ada perbedaan antara memutus kebiasaan dengan membelokkan kebiasaan. Membelokkan kebiasaan dilakukan dengan menghindari petujnjuk yang menimbulkan perilaku yang tak diinginkan. Jika anda mengumpulkan sejumlah besar pola perilaku tak efektif atau menyebabkan kecemasan, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah meningkatkan situasi itu. Guthrie menyarankan agar anda pergi kesuatu lingkungan baru yang memberi anda kesegaran baru karena anda tidak punya banyak asosiasi dengan lingkungan baru.

Hukuman
Hukuman akan efektif jika menghasilkan respons baru terhadap stimuli yang sama. Hukuman berhasil mengubah perilaku yang tidak diinginkan karena hukuman menimbulkan perilaku yang tidak kompitabel dengan perilaku yang dihukum. Hukuman akan gagal jika perilaku yang disebabkan oleh hukuman selaras dengan perilaku yang dihukum.

Dorongan
Drives (dorongan) fisiologis merupkan apa yang oleh Guthrie dikatakan maintaining stimuli (stimuli yang mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai tujuan tercapai.

    Niat
Respons yang dikondisikan ke maintaining stimuli dinamakan intentions (niat). Respons tersebut dinamakan niat karena maintaining stimuli dari dorongan biasanya berlangsung selama periode waktu tertentu (sampai dorongan berkurang).

Transfer Training
Karena pada dasarnya seseorang akan menunjukkan respons yang sesuai dengan stimuli jika pada kondisi yang sama. Guthrie selalu mengatakan pada mahasiswa universitasnya, jika anda ingin mendapat manfaat terbesar dari studi anda, anda harus berlatih dalam situasi yang persis sama-dalam kursi yang sama-di mana anda akan diuji. Jika anda belajar sesuatu di kamar, tidak ada jaminan pengetahuan yang diperoleh disitu akan ditransfer ke kelas.

Formalisasi Teori Guthrie Oleh Voeks

Dalam pernytaan ulang Voeks atas teori Guthrie ada 4 postulat dasar, 8 definisi dan 8 teorema. Postulat itu berusaha meringkaskan banyak prinsip belajar umum dari Guthrie, sedang definisinya berusaha menjelaskan beberapa konsep Guthriean (seperti stimulus, petunjukn, respon dan belajar), teoremanya adalah deduksi dari postulat dan definisi yang dapat di uji secara eksperimental. Voeks menguji sejumlah deduksi dan menemukan sejumlah bukti yang mendukung teorti Guthrie. Sebagaian besar formalisasi Voeks atas teori Guthrie dan riset yang dihasilkannya, terlalu komplek untuk dipaparkan disini. Tetapi 4 postulat Voeks sudah cukup meringkaskan dan menjadi contoh dari formalisasi dari teori Guthrie yng dilakukannya.

1.        Postulat I:Prinsiple of association,(a) setiap pola stimulus yang pernah mengirimi satu respon, dan atau muncul lebih awal setelah detik atau kurang, akan menjadi petunjuk langsung yang kuat untuk respon itu. (b) ini adalah salah satunya cara di mana pola stimulus yang bukan petunjuk untuk respon tertentu menjadi petunjuk langsung untuk respon itu ( Voeks, 1950, h. 342) .
2.      Postulat  II : Prinsiple of Postremity, (a) suatu stimulus yang mengiringi atau mendahului dua atau lebih respon yang tidak kompatibel adalah stimulus yang dikondisikan hanya untuk respon terakhir yang diberi saat stimulus itu masih ada.(b) ini adalah satu-satunya cara dimana stimulus yang merupakan petunjuk untuk respon tertentu kini tidak lagi menjadi petunjuk bagi respon itu ( Voeks, 1950, h. 344).
3.      Postulat III : Prinsiple of Response Probability : Probabilitas dari kejadian respon tertentu pada waktu tertentu merupakan suatu fungsi dari proporsi kehadiran stimuli yang adalah petunjuk bagi respon pada waktu itu. (Voeks, 1950, h.348).
4.      Postulah IV :Prinsiple of Dynamic Situations. Pola stimulus dari suatu situasi tidaklah statis tetapi dimodifikasi dari waktu kewaktu karena ada perubahan dari respon yang diberikan subjek, akumulasi kelelahan, perubahan reaksi dan proses internal lainnya didalam subjek, serta karena kadirnya variasi terkontrol dan tak terkontrol dalam stimuli yang ada saat itu ( Voeks ,1950, h. 350).

Pembaca tidak boleh menyimpulkan bahwa teori belajar Guthrie hanya menarik secara historis. Seperti yang akan kita diskusikan nanti, saat kita membahas Villiam K.Estes, salah satu trend dalam teori belajar modern adalah mengarang kepenggunaan model matematika dalam menjelaskan proses belajar. Teori belajar Guthrie adalah teori yang member basis untuk model matematika untuk teori belajar awal dan masih tetap berada di jantung dari sebagaian besar teori belajar modern.

Pendapat Guthrie Tentang Pendidikan

Seperti halnya Thorndike, Guthrie menyarankan proses pendidikan dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus dibuat untuk stimuli. Dia menyarankan lingkungan belajar yang akan memunculkan respons yang diinginkan bersama dengan adanya stimuli yang akan diletakkan padanya. Jadi motivasi dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan adalah siswa mesti merespons dengan tepat dalam kehadiran stimuli tertentu.
Latihan (praktik) adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimuli untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.karena setiap pengalaman adalah unik, seseorang harus “belajar ulang” berkali-kali. Guthtrie mengatakan bahwa belajar 2 ditambah 2 di papan tulis tidak menjamin siswa bisa 2 ditambah 2 ketika dibangku. Karena memungkinkan siswa akan belajar meletakkan respons pada setiap stimuli.

1.     Guru harus dapat mengarahkan performa siswa akan menjadi apa ketika mempelajari sesuatu. Dengan kata lain , apakah stimuli yang ada dalam buku atau pelajaran yang menyebabkan siswa melakukan belajar.
2.    Oleh karena itu, jika siswa mencatat atau membaca buku secara sederhana mereka dapat mengingat lebih banyak informasi. Maka dalam hal ini buku akan menjadi stimuli yang dapat digunakan sebagai perangsang untuk menghafal pelajaran.
3.    Dalam mengelola kelas, guru dianjurkan untuk tidak memberikan perintah yang secara langsung akan menyebabkan siswa menjadi tidak taat terhadap peraturan kelas. Misalnya permintaan guru agar siswa tenang jika diikuti oleh kegaduhan dalam kelas akan menjadi tanda (memunculkan stimuli ) bagi munculnya perilaku distruptif.

Evaluasi Teori Guthrie

Kontribusi

Guthrie adalah unik dalam penegasannya bahwa belajar berasal dari kontinguitas antara stimuli dan respon dan kontiguitas saja. Bahkan pengulas teori belajar awal (Mueller & Schoenfeld,1954) menunjukkan pendekatan kontinguitas Guthrie yang sederhana dapat menjelaskan semua fenomena dasar yang di analisis oleh Skinner atau Hull. Teori Guthrie amat menarik banyak ilmuwan karena teorinya dapat menyelaskan proses belajar, penyelapan dan generelisasi, dengan analisis sederhana. teorinya menyediakan penjelasan alternatif yang penting mengenai belajar. Selain itu teorinya berfungsi sebagai pengingat bahwa suatu teori tidak harus sangan ruwet untuk menjelaskan perilaku yang kompleks.

Kritik

Eksperimen (Guthrie & Horrton) yang disajikan dalam bukti teori, adalah contoh yang dikritik Mueller & Schoenfeld. Moore & Stuttard (1979) menunjukkan bahwa, seperti keluarga kucing lainnya termasuk kucing peliharaan, kucing dalam eksperimen Guthie dan horrton melakukan perilaku mengosok dan mengendus yang bersifat naluriah dan biasanya dilakukan saat kucing menyambut kucing lain yang dikenalinya atau manusia yang dikenalinya mereka mengamati bahwa kucing menunjukkan perilaku stereotip yang konsisten seperti yang dilaporkan oleh Horton dan Guthrie (1946) bahkan ketika tindakan mengosok-gosokan badanya ketuas tidak menghasilkan penguatan dan perubahan dalam kondisi stimuli apapun.


BAB 13
Albert Bandura

Albert Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di Mundare, kota kecil di Alberta, Canada. Dia mendapat gelar B.A. dari University of British Columbia, Kemudian M.A. pada 1951, dan Ph.D. pada 1952 dari University of Lowa. Bandura kini menjabat sebagai David Starr Jordan Professor of Social Science di Fakultas Psikologi di Universitas Stanford. Saat di Univesity of Lowa, Bandura dipengaruhi oleh Kenneth Spence, seorang teoretisi Hullian terkemuka, tetapi minat utama Bandura adalah psikologi klinis. Pada saat itu, Bandura ingin menjelaskan gagasan yang dianggap efektif dalam psikoterapi dan kemudian menguji dan memperbaiki gagasan itu. Pada periode ini pula Bandura membaca buku Social Learning and Imitation karya Miller dan Dollard (1941).

PENJELASAN AWAL TENTANG BELAJAR OBSERVASIONAL

1.        Penjelasan Thorndike dan Watson tentang Belajar Observasional 

Edward L.Thorndike yang pertama kali berusaha meneliti belajar observasional secara eksperimental. Pada 1898, dia meletakkan seekor kucing dalam kotak teka teki dan kucing lainnya di sangkar yang ada di dekatnya. Kucing di kotak teka teki itu sudah belajar cara keluar dari kotak, sehingga kucing kedua hanya perlu mengamati kucing pertama untuk belajar respons membebaskan diri. Akan tetapi, ketika Thorndike meletakkan kucing kedua itu di kotak teka teki, kucing itu tidak memberikan respons membebaskan diri. Kucing kedua itu harus melakukan proses uji coba yang sama dengan kucing pertama untuk keluar dari kotak teka teki. Thorndike melakukan percobaan serupa dengan subyek ayam, anjing dan monyet, dengan hasil yang sama. Thorndike menyimpulkan bahwa, “Dalam eksperimen saya dengan hewan-hewan, tampaknya tidak ada yang mendukung hipotesis bahwa mereka memiliki kemampuan untuk belajar melakukan sesuatu setelah melihat hewan lain melakukan sesuatu”.

Pada 1908, J.B. Watson mereplikasi riset Thorndike dengan monyet, dia juga tidak menemukan bukti adanya belajar observasional. Thorndike dan Watson sama-sama menyimpulkan bahwa belajar hanya berasal dari direct experience (pengalaman langsung) dan bukan dari vicarious experience (pengalaman tak langsung atau pengganti). Dengan kata lain, mereka menganggap belajar terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungan dan bukan dari hasil pengamatan terhadap interaksi orang lain.

2.      Penjelasan Miller dan Dollard tentang Belajar Observasional

Seperti Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard berusaha menentang penjelasan nativistik tentang belajar observasional. Akan tetapi berbeda dengan Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard tidak menyangkal fakta bahwa organisme bisa belajar dengan mengamati aktivitas organisme lain. Menurut Miller dan Dollard, jika imitative behavior (perilaku imitatif) diperkuat, ia akan diperkuat seperti jenis perilaku lainnya. Jadi menurut Miller dan Dollard, belajar imitatif adalah kasus khusus dari pengkondisian instrumental.
Miller dan Dollard (1941) membagi perilaku imitatif ke dalam tiga kategori:

1.      Same behavior (perilaku sama)
Terjadi ketika dua atau lebih individu merespon situasi yang sama dengan cara yang sama, misalnya: kebanyakan orang berhenti di lampu merah, bertepuk tangan saat suatu konser berakhir, dan tertawa saat orang lain tertawa.

2.      Copying behavior (perilaku meniru atau menyalin)
Adalah melakukan perilaku sesuai dengan perilaku orang lain, misalnya: ketika instruktur member bimbingan dan tanggapan korektif terhadap siswa kelas seni yang sedang berusaha menggambar.

3.      Matched-dependent behavior (perilaku yang tergantung pada kesesuaian)
Seorang pengamat diperkuat untuk mengulang begitu saja tindakan dari seorang model.

Menurut Miller dan Dollard, imitasi itu bisa menjadi kebiasaan. Miller dan Dollard menyebut tendensi untuk meniru perilaku sebagai generalized imitation (imitasi atau peniruan yang digeneralisasikan). Menurut Miller dan Dollard (1941), dalam belajar imitatif peran model adalah memandu respon pengamat sampai respon yang tepat diberikan atau untuk menunjukkan kepada pengamat respon mana yang akan diperkuat dalam situasi tertentu.

PENJELASAN BANDURA TENTANG BELAJAR OBSERVASIONAL

Menurut Bandura, imitasi dan belajar observasional memiliki perbedaan pengertian. Menurut Bandura, belajar observasional mungkin menggunakan imitasi atau mungkin juga tidak. Menurut Bandura, apa yang Anda pelajari adalah informasi, yang diproses secara kognitif dan Anda bertindak berdasarkan informasi ini demi kebaikan diri Anda. Jadi, belajar observasional lebih kompleks ketimbang imitasi sederhana, yang biyasanya hanya berupa menirukan tindakan orang lain.
Teori belajar yang paling mirip dengan teori Bandura adalah teorinya Tolman. Meskipun Tolman dan Bandura adalah seorang behavioris tetapi keduanya menggunakan konsep mental untuk menjelaskan fenomena perilaku. Tolman dan Bandura juga percaya bahwa belajar adalah proses konstan yang tidak membutuhkan penguatan. Baik teori Tolman maupun Bandura bersifat kognitif, dan keduanya bukan reinforcement theories ( teori penguatan). Walaupun Tolman percaya bahwa belajar adalah konstan, dia percaya bahwa informasi yang didapat lewat belajar hanya akan ditindaklanjuti jika ada alasan untuk melakukannya, seperti ketika muncul kebutuhan.

KONSEP TEORETIS UTAMA

1.Proses Atensional

Sebelum sesuatu dapat dipelajari dari model, model itu harus diperhatikan. Bandura menganggap belajar adalah proses yang terus berlangsung, tetapi dia menunjukkan bahwa hanya yang diamati sajalah yang dapat dipelajari.

2. Proses Retensional 

Agar informasi yang sudah diperoleh dari observasi bisa berguna, informasi itu harus diingat atau disimpan. Bandura berpendapat bahwa ada retentional process (proses retensional) dimana informasi disimpan secara simbolis melalui dua cara, secara imajinal (imajinatif) dan secara verbal.

3. Proses Pembentukan Perilaku 

Behavioral production process (proses pembentukan perilaku) menentukan sejauh mana hal-hal yang telah dipelajari akan diterjemahkan ke dalam tindakan atau performa. Seseorang mungkin mempelajari sesuatu secara kognitif namun dia tidak mampu menerjemahkan informasi itu ke dalam perilaku karena ada keterbatasan, misalnya: perangkat gerak otot yang dibutuhkan untuk respon tertentu tidak tersedia atau karena orang belum dewasa, cedera, atau sakit parah.

4. Proses Motivasional

Dalam teori Bandura, pengamatan memiliki dua fungsi utama. Pertama, ia menciptakan ekspetasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak seperti model yang dilihatnya diperkuat untuk aktivitas tertentu, maka mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai insentif untuk menerjemahkan belajar ke kinerja. Apa yang dipelajari melalui observasi akan tetap tersimpan sampai si pengamat itu punya alasan untuk menggunakan informasi itu. Kedua fungsi penguatan itu adalah fungsi informasional. Satu fungsi menimbulkan ekspetasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, mereka mungkin akan diperkuat. Fungsi lainnya, motivational processes (proses motivasional) menyediakan motif untuk menggunakan apa-apa yang telah dipelajari.

PROSES KOGNITIF YANG SALAH

Bandura menganggap penting proses kognitif dalam penentuan perilaku manusia. Karena perilaku seseorang sebagian ditentukan oleh proses kognitifnya, maka jika proses kognitif tidak akurat dalam merefleksikan realitas akan mungkin muncul perilaku yang salah (maladaptif). Bandura memberi beberapa sebab munculnya faulty cognitive processes (proses kognitif yang salah). Pertama, anak mungkin mengembangkan kepercayaan salah karena mereka cenderung mengevaluasi segala sesuatu berdasarkan penampilan. Kedua, kesalahan dalam pemikiran terjadi ketika informasi diambil dari bukti yang kurang cukup.

APLIKASI PRAKTIS DARI BELAJAR OBSERVASIONAL

Apa yang Didapat dari Modeling


Modeling memberi beberapa efek bagi pengamat. Respons baru mungkin muncul setelah menyaksikan seorang model diperkuat setelah melakukan tindakan tertentu. Jadi aquisition (akuisisi) perilaku berasal dari penguatan tak langsung. Sebuah respon mungkin tak muncul ketika melihat seorang model dihukum karena memberikan respon tersebut. Dengan demikian, hasil yang terhalangi  tersebut merupakan akibat daripada hukuman tersebut. Reduksi rasa takut yang berasal dari pengamatan atas tindakan model dalam aktivitas yang ditakuti itu dinamakan disinhibition (disinhibisi). Model meningkatkann kemungkinan si pengamat akan melakukan respon yang sama. Ini dinamakn facilitation (fasilitasi). Modeling juga dapat menstimulasi ctreativity (kreativitas) dengan cara menunjukan kepada pengamat beberapa model yang menyebabkan pengamat mengadopsi kombinasi berbagai karakteristik atau gaya.Modeling abstrak mengandung tiga komponen : (1) Mengamati berbagai macam situasi yang memilki kaidah atau prinsip sama. (2) mengambil inti sari kaidah atau prinsip dari berbagai pengalaman yang berbeda. (3) menggunakan kaidah atau prinsip itu dalam situai yang barudan berbeda.

Modeling Dalam Setting Klinis

Menurut Bandura, psikopatologi berasal dari belajar disfungsional, yang menyebabkan antisipasi yang keliru terhadap dunia. Tugas psikoterapi adalah memberi pengalaman yang akan menyangkal ekspetasi yang salah itu dan menggantinya dengan ekspetasi yang benar. Bandura dan rekan-rekannya melakukan sejumlah studi untuk menguji ekfektivitas modeling dalam mengatasi beberapa gangguan psikologis. Misalnya, Bandura, Grusec, dan Menlove (1967) menunjukkan kepada anak yang sangat takut pada anjing bagaimana seorang anak lain berinteraksi tanpa rasa takut dengan anjing kemudian tali ikatan  anjing itu dikendurkan secara bertahap dan interaksi langusng antara model dengan si anjing dibuat bervariasi. Satu kelompok control yang terdiri dari anak yang juga fobia anjing tidak diberi pengalaman modeling. kemudian perilaku semua anak itu dalam berhubungan anjing dalam eksperimen dan dengan anjing lain yang asing.

PENGARUH BERITA DAN MEDIA HIBURAN

Bandura menyatakan bahwa seseorang dapat belajar dari pengalaman tak langsung atau pengalaman pengganti dan belajar dengan mengamati konsekuensi dari perilakunya sendiri. Bandura mendefenisikan model sebagai segala sesuatu yang menyampaikan informasi. Jadi koran, majalah, televisi, dan sebagainya merupakan model. Dan tentu saja berita dan hiburan yang disampaikan dapat membawa pengaruh positif maupun dapat memunculkan proses kognitif yang salah pada individu.
Bandura menyatakan bahwa anak-anak dan orang dewasa mendapatkan sikap, emosi tanggapan, dan gaya baru yang melakukan melalui televisi modeling dan film. Bandura memberi contoh bagaimana tayangan di televisi dapat memicu perilaku antisosial, misalnya terjadinya pemerasan dengan strategi yang sama dengan yang ada dalam sebuah film yang baru saja ditayangkan. Bandura menolak kejadian itu hanya kebetulan belaka. Secara umum, Bandura menarik kesimpulan tentang acara di televisi bahwa tindakan kekerasan digambarkan sebagai tindak yang diperbolehkan, sukses, dan relatif tidak kotor. Melihat kekerasan yang disajikan secara dramatis akan menyebabkan orang makin terbiasa dan bahkan mendukung kekerasan daripada mencari solusi alternatif. Namun yang juga perlu diketahui, tidak semua orang yang menonton kekerasan di televisi akan melakukan aksi kekerasan. Dan juga tidak ada orang yang menonton tayangan yang eksplisit secara seksual akan menjadi orang yang kecanduan seks. Materi erotis telah dipakai untuk mengatasi individu yang mengalami gangguan seksual.

PENDAPAT BANDURA TENTANG PENDIDIKAN

sebagian besar guru memiliki kriteria tersebut sehingga dapat menjadi model yang berpengaruh besar. Guru dapat menjadi model untuk suatu keahlian, strategi pemecahan masalah, kode moral, standar performa, aturan dan prinsip umum, dan kreativitas. Guru juga dapat menjadi model tindakan, yang akan diinternalisasi siswa dan karenanya menjadi standar evaluasi diri. Bandura juga menyatakan bahwa penguatan intrinsik lebih penting daripada penguatan ekstrinsik. Penguatan ekstrinsik dianggap justru bisa mereduksi motivasi belajar siswa.Proses belajar observasional diatur oleh empat variabel yang harus diperhatikan oleh guru. Proses yang pertama yaitu atensional (perhatian), dimana siswa harus menaruh perhatian terhadap sesuatu yang menurutnya menarik, popular, kompeten, atau dikagumi, dan proses itu akan bervariasi seiring dengan pendewasaan dan pengalaman belajar sebelumnya. Yang kedua yaitu retensi, agar dapat meniru perilaku suatu model siswa  harus mengingat perilaku itu. Pada fase retensi ini, latihan sangat membantu siswa untuk mengingat elemen-elemen perilaku yang dikehendaki. Yang ketiga produksi, suatu proses pembelajaran dengan memberikan latihan-latihan agar membantu siswa lancer dan ahli dalam menguasai materi pelajaran. Yang terakhir yaitu motivasi. Suatu cara agar dapat mendorong kinerja dan mempertahankan tetap dilakukannya keterampilan yang baru diperoleh dengan memberikan penguatan.

KONTRIBUSI

Bandura memperlihatkan bahwa kita belajar dengan mengamati orang lain dan bahwa belajar ini dapat terjadi dengan maupun tanpa imitasi dan tanpa penguatan. Kontribusi kedua adalah interaksi tiga arah yang ditunjukkan dalam gagasannya tentang determinisme resiprokal. Determinisme resiprokal menyatakan bahwa perilaku adalah produk dari orang dan lingkungan dan juga mempengaruhi orang dan lingkungan, dan karenanya menggeser perspektif kita dari fokus perilaku per se ke hubungan dinamis antara orang, lingkungan, dan perilaku.

KRITIK

Prinsip determinisme resiprokal mendapat kritikan dari Philips dan Orton (1983). Mereka menunjukkan bahwa interaksi sistematis bukan soal baru dan mungkin sudah ada dalam tulisan filsafat dan ilmiah di abad ke-19. Mereka juga berpendapat bahwa meski Bandura sianggap determinis, prinsip determinisme resiprokal menolak analisis kausal standar. Artinya, jika perilaku menyebabkan perubahan pada orang, sementara orang itu menyebabkan perubahan pada perilaku, sementara lingkungan menyebabkan perubahan dalam perilaku dan orang, dan seterusnya, maka tugas menemukan apa penyebab sesungguhnya menjadi mustahil.


BAB 16

PENUTUP

TREN TERBARU DALAM TEORI POLITIK

1.        Teori belajar saat ini lebih sederhana cakupannya.
2.      Ada penekanan pada neurofisiologi belajar
3.      Proses kognitif seperti pembentukan konsep, pengambilan resiko, dan pemecahan masalah kembali menjadi topik studi yang populer
4.      Ada peningkatan perhatian terhadap aplikasi prinsip belajar untuk solusi problem praktis.

BEBERAPA PERTANYAAN TENTANG BELAJAR YANG BELUM TERJAWAB
 
1.        Bagaimana belajar bervariasi sebagai fungsi pendewasaan ?

2.      Apakah belajar bergantung pada penguatan?
3.      Bagaimana belajar bervariasi sebagai fungsi spesies?
4.      Dapatkah beberapa aosiasi dipelajari dengan lebih mudah ketimbang lainnya?
5.      Bagaimana perilaku yang dipelajari berinteraksi dengan perilaku instingtif ?
6.      Bagaimana belajar bervariasi sebagai fungsi dari karakteristik personalitas?
7.       Sejauh mana belajar adalah fungsi dari lingkungan keseluruhan ?
8.      Bagaimana semua pertanyaan diatas berhubungan dengan tipe belajar?

BELUM ADA JAWABAN FINAL TENTANG PROSES BELAJAR

Tetapi fakta itu tidak perlu membuat mahasiswa patah asa, sebab dalam sains tidak pernah ada jawaban final. Pengetahuan terus berkembang dan evolusi akan bergantung pada variasi. Dalam menentukan perilaku manusia, tidak ada proses yang paling penting ketimbang belajar.